SEMUA ARTIKEL

http://almadiuniy.blogspot.com/2013/06/semua-artikel.html

Minggu, 24 Maret 2013

Memuliakan Wanita Dengan Poligami


Memuliakan Wanita Dengan Poligami

Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
ta'adudUmumnya orang menganggap poligami adalah aturan yang mendzalimi kaum wanita, karena wanita yang suaminya melakukan poligami -bahasa umumnyadimadu- harus rela diduakan dan berbagi dengan wanita lain; satu, dua, sampai tiga orang.
Namun menilai aturan syariat tidaklah dengan mengedepankan perasaan dan akal kita. Berapa banyak aturan Allah subhaanahu wata’ala dan Rasul-Nya yang tidak boleh dinilai dengan perasaan manusia yang rendahan, karena Dia tidaklah menetapkan kecuali dengan keadilan dan hikmah-Nya yang agung. Sebagai contoh, hukum qishash bagi yang membunuh. Artinya, bunuh dibalas bunuh apabila  keluarga yang terbunuh tidak memaafkan si pembunuh atau merelakan diganti dengan diyat. Orang yang sok perasaan menganggap hukum tersebut kejam karena yang dipikirkannya hanya nasib si pembunuh yang menjalani qishash, bagaimana nasib keluarganya, dan sebagainya, tanpa memikirkan si terbunuh yang juga memiliki keluarga, bagaimana nasib mereka sepeninggalnya. Padahal dalam hukum qishashada kebaikan yang besar, sebagaimana Allah subhaanahu wata’aala berfirman:
 وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dalam qishash itu ada kehidupan bagi kalian…” (QS. Al Baqarah : 179)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah subhaanahu wata’aala menyatakan, ‘Dalam syari’at qishash, yaitu membunuh si pembunuh, ada hikmah yang agung bagi kalian, yaitu tetap hidupnya ruh dan terjaganya darah.’ Sebab, apabila orang yang ingin membunuh tahu bahwa dia akan dihukum bunuh pula, tentu ia akan menahan diri dari pembunuhan yang ingin dilakukannya. Dengan demikian, pada hal yang seperti ini ada kehidupan bagi jiwa-jiwa.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Adzim, I/273)
Justru karena tidak diterapkannya hukum qishash, pembunuhan sering terjadi dan orang berani membunuh orang lain, seakan-akan nyawa manusia demikian murah harganya atau tidak bernilai sama sekali.
Itu satu contoh, belum lagi contoh-contoh lain yang banyak. Nah, syari’at poligami pun acap diukur dengan perasaan yang rusak. Akibatnya, muncul sikap antipati kepada aturan Allah subhaanahu wata’aala ini. Poligami pun disebut dengan cap-cap buruk agar manusia menjauhinya. Padahal apabila ditelisik lebih jauh, poligami justru memberikan kemulian pada wanita.
Apa benar demikian? Masa sih?
Silakan pembaca terus menyimak tulisan ini sehingga Insya Allah mendapat kejelasan dari sisi mana kemuliaan tersebut.
Syari’at Islam membolehkan lelaki mengumpulkan lebih dari satu wanita sampai batasan empat dalam ikatan pernikahan yang suci. Hal ini dengan syarat bahwa si lelaki bisa berlaku adil, tidak berat sebelah diantara istri-istrinya. Adil dalam hal apa? Adil dalam hal nafkah, makan, minum, tempat tinggal, dan mabit (giliran bermalam).
Pensyariatan poligami ditetapkan untuk hikmah agung dan tujuan tinggi yang menjamin kemuliaan bagi manusia-manusia yang beriman kepada Allah subhaanahu wata’aala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, serta Muhammad shallallahu alaihi wa salam sebagai nabi dan rasul-Nya.
Agama Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa salamadalah agama yang pantas dipeluk di setiap zaman dan tempat. Bahkan, Islamlah satu-satunya agama yang diridhai Allah subhaanahu wata’aala,yang tidak diterima agama selainnya, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلامُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Siapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya agama tersebut dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran : 85)
Sebagai insan yang mengaku beriman, tentu kita tidak sangsi bahwa Islam sarat dengan ajaran kemanusiaan yang tinggi serta pengangkatan harkat dan martabat manusia, karena yang mengajarkan Islam dan meridhainya sebagai agama manusia adalah Rabb manusia, Dzat yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk manusia.
Terwujudnya sebuah komunitas kaum muslimin yang kuat adalah suatu kemestian guna menyebarkan agama Allah subhaanahu wata’aala yang haq ini di muka bumi-Nya dan menjadi penolong-penolong agama-Nya. Komunitas tersebut tidak bisa tegak dengan kokoh kecuali dengan memperbanyak individunya. Tentu tidak ada jalan untuk memperbanyak jumlah ini terkecuali dengan dua cara :
1. Segera menikah dan tidak menundanya, di saat ada kemampuan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam pernah bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai sekalian pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah, hendaknya dia menikah.” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslimno. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu a’anhu)
2. Memperbanyak istri (poligami) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamsendiri mendorong kaum lelaki untuk memilih wanita yang subur rahimnya sehingga memberinya banyak keturunan. Karena itulah, ketika ada seorang shahabat hendak menikahi wanita cantik berkedudukan mulia namum mandul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dan memerintahkan,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur rahimnya karena pada hari kiamat nanti aku berbangga-bangga di hadapan umat lain dengan banyaknya kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hai al-Wadi’i rahimahullah alam ash-Shahihul Musnad, 2/189).
Apabila tiap lelaki hanya menikahi satu istri berarti sejumlah besar wanita hidup tanpa suami, karena jumlah wanita memang lebih banyak daripada jumlah lelaki. Sebaliknya apabila syariat poligami ini tersebar di kalangan umat, di amalkan sesuai dengan aturan-aturan syariat, di jalankan dengan akhlak islami yang tinggi dan suci dari perkara yang rendah, niscaya kita akan beroleh jumlah masyarakat yang besar, berakhlak mulia lagi disegani di alam ini.
Hal paling mulia yang ada dalam poligami adalah pemulian terhadap wanita. Sebab wanitalah yang turut andil memperbanyak umat dan mengokohkan kekuatannya. Lebih-lebih lagi saat ada kebutuhan yang besar, seperti di saat jumlah wanita lebih banyak daripada lelaki disebuah daerah, bisa jadi karena sebab perperangan yang banyak kaum lelaki yang gugur atau sebab lainnya.
Menempuh poligami akan memberikan kebaikkan kepada kaum wanita dari beberapa sisi, diantaranya,
1. Wanita yang dinikahi mendapatkan suami yang akan memberinya nafkah, dan mungkin saja akan menafkahi anak-anaknya apabila si wanita adalah janda yang memilikik anak dari suami terdahulu.
2. Dengan poligami pula wanita mendapati kedekatan, kemesraan, cinta, dan kasih sayang.
3. Poligami adalah pemuliaan dan penjagaan bagi wanita dari penyimpangan akhlak karena terpenuhinya kebutuhan fitrahnya.
4. Poligami juga menjadi pemuliaan bagi istri pertama dilihat dari sisi dia disandingkan dengan seorang wanita baik-baik dalam ikatan pernikahan yang suci dengan suaminya, daripada dia harus bersanding dengan sekian banyak wanita sebagai kekasih gelap suaminya yang bisa memperburuk akhlak suaminya karena rusaknya agama dan buruknya pergaulan mereka.
Wanita yang mau dinikahi baik-baik, apakah sebagai istri kedua atau ketiga atau keempat, galibnya adalah wanita baik-baik, suci, lagi menjaga kehormatan diri. Mereka tidak memiliki penyakit-penyakit yang hina akibat pergaulan bebas dengan lawan jenis. Beda halnya dengan para wanita yang mau dijadikan kekasih gelap. Entah sudah berapa kali dia jatuh kedalam pelukkan lelaki, dari satu lelaki pindah kelelaki lainnya. Na’udzubillah.
5. Aturan poligami adalah pemuliaan bagi kedua istri, baik istri pertama maupun istri kedua, pada keadaan suami memiliki libido yang tinggi.
Seorang wanita mesti menghadapi beberapa keadaan yang menyebabkan ia tidak bisa memberikan “pelayanan” kepada suaminya, bisa jadi karena sedang haidh, nifas, atau sakit. Apabila hanya dia seorang sebagai istri suaminya, lalu kemana suaminya harus menyalurkan hasratnya yang menggebu di hari-hari tersebut? Ke jalan yang haram? Jelas tidak boleh. Berpikir yang haram? Jelas tidak pantas. Apabila ada istri selainnya, tentu suaminya akan selamat dari hal yang haram.
6. Poligami di saat istri pertama tidak bisa melahirkan anak untuk suaminya karena sakit, mandul, atau sebab lainnya, adalah lebih utama daripada harus berpisah/bercerai. Dengan poligami, si istri yang tidak bisa memberikan keturunan tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya yang berarti tetap dalam penjagaan dan perlindungan si suami. Dengan demikian, terwujudlah keamanan dan kekokohan rumah tangga muslim.
7. Apabila diterapkan sebaik-baiknya sesuai dengan aturan, tanpa ada pelanggaran berupa ketidakadilan dan sebagainya, syariat poligami adalah solusi terhadap problem kemasyarakatan dan individual, bahkan problem seluruh alam. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi salam yang mengajarkan poligami itu diutus untuk menjadi rahmat bagi segenap alam, sebagaimana firman Allah subhaanahu wata’aala,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi segenap alam.”(al-Anbiya:107)
8. Syariat Islam membatasi poligami sampai empat istri yang dikumpulkan. Adapun di masa jahiliah, seorang lelaki bebas menikahi berapa saja wanita yang diinginkannya, tanpa pembatasan, tanpa ada aturan mabit, tempat tinggal, atau nafkah. Jadi, pembatasan bilangan empat dalam poligami adalah pemuliaan bagi wanita.
9. Syariat yang mengharuskan suami berlaku adil di antara para istrinya adalah bukti pemuliaan bagi wanita. Adanya hukuman bagi suami yang tidak berbuat adil di antara istri-istrinya juga menjadi pemuliaan terhadap wanita dan pengangkatan derajatnya.
Dengan demikian, yakinlah kita bahwa tidak ada satu aturan syariat pun selain di dalamnya ada izzah dan karamah bagi wanita.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab
Sumber bacaan:
  • al-Mulakhash al-Fiqhi, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan
  • Mazhahir Takrim al-Mar’ah fi asy-Syariah al-Islamiyyah, risalah mukadimah untuk meraih derajat magister dalam bidang fiqih dan ushul, karya Su’ad Muhammad Subhi, hlm 285-286
  • Tafsir al-Qur’anil Azhim, al-Hafizh Ibnu Katsir.
Diambil dari Majalah Asy Syariah Vol. VIII/No. 85/1433H/2012 pada rubrik Niswah, ditulis ulang untuk blog http//:bilahatirindupoligami.wordpress.com