(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc)
Menegakkan keadilan dan kejujuran dalam pergaulan sesama manusia merupakan bagian terpenting yang diseru oleh agama Islam. Keadilan dan kejujuran adalah fondasi kokoh untuk tetap tegaknya sebuah peradaban sebagaimana kezaliman adalah faktor utama terpuruknya umat, hancurnya berbagai peradaban, lenyapnya ketenangan, dan datangnya kemurkaan Allah l. Allah l berfirman:
“Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu atas kebinasaan mereka.” (al-Kahfi: 59)
Kezaliman dalam bentuk apa pun kesudahannya sangat mengerikan. Andaikan suatu gunung berbuat zalim kepada gunung yang lain niscaya gunung yang zalim akan dihancurkan Allah l. Ini adalah atsar sahabat Ibnu ‘Abbas c seperti dalam Shahih al-Adab al-Mufrad no. 457.
Gunung yang isinya adalah batu-batu besar dan keras akan dihancurkan bila berlaku aniaya. Bagaimana kiranya manusia yang lemah seperti ini?
Di antara kezaliman yang meretakkan sendi-sendi kehidupan adalah berbuat curang dalam menakar hak orang, menimbang, mengukur, dan yang sejenisnya.
Kalau kezaliman tersebut dilakukan oleh orang kafir kiranya “bisa dipahami”, karena ketidakpercayaan mereka dengan hari pembalasan menjadi sebab terbesar terjerumusnya mereka dalam kejahatan tersebut. Tetapi alangkah memilukannya bila kecurangan itu dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya muslim. Apakah dia belum tahu bahwa di antara sebab binasanya kaum Nabi Syu’aib q adalah kecurangan mereka dalam menakar dan menimbang?!
Allah l berfirman:
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan, saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, serta janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (al-A’raf: 85)
Ternyata peringatan Nabi Syu’aib q tidak dihiraukan dan mereka terus menekuni kebiasaan jahat mereka hingga Allah l menurunkan azab-Nya. Allah l menyebutkan tentang azab yang ditimpakan kepada mereka sebagaimana firman-Nya:
“Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (al-A’raf: 91)
Kehancuran kaum Nabi Syu’aib q memang telah berlalu, namun disebutkan dalam Al-Qur’an agar orang-orang yang setelah mereka mengambil pelajaran.
“Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu atas kebinasaan mereka.” (al-Kahfi: 59)
Kezaliman dalam bentuk apa pun kesudahannya sangat mengerikan. Andaikan suatu gunung berbuat zalim kepada gunung yang lain niscaya gunung yang zalim akan dihancurkan Allah l. Ini adalah atsar sahabat Ibnu ‘Abbas c seperti dalam Shahih al-Adab al-Mufrad no. 457.
Gunung yang isinya adalah batu-batu besar dan keras akan dihancurkan bila berlaku aniaya. Bagaimana kiranya manusia yang lemah seperti ini?
Di antara kezaliman yang meretakkan sendi-sendi kehidupan adalah berbuat curang dalam menakar hak orang, menimbang, mengukur, dan yang sejenisnya.
Kalau kezaliman tersebut dilakukan oleh orang kafir kiranya “bisa dipahami”, karena ketidakpercayaan mereka dengan hari pembalasan menjadi sebab terbesar terjerumusnya mereka dalam kejahatan tersebut. Tetapi alangkah memilukannya bila kecurangan itu dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya muslim. Apakah dia belum tahu bahwa di antara sebab binasanya kaum Nabi Syu’aib q adalah kecurangan mereka dalam menakar dan menimbang?!
Allah l berfirman:
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan, saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, serta janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (al-A’raf: 85)
Ternyata peringatan Nabi Syu’aib q tidak dihiraukan dan mereka terus menekuni kebiasaan jahat mereka hingga Allah l menurunkan azab-Nya. Allah l menyebutkan tentang azab yang ditimpakan kepada mereka sebagaimana firman-Nya:
“Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (al-A’raf: 91)
Kehancuran kaum Nabi Syu’aib q memang telah berlalu, namun disebutkan dalam Al-Qur’an agar orang-orang yang setelah mereka mengambil pelajaran.
Terjaganya Harta Seorang Muslim
Secara umum dan dalam bentuk apa pun, seseorang diharamkan untuk melenyapkan dan merampas harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Nabi n bersabda:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Bahkan di saat perkumpulan akbar, ketika haji wada’ (perpisahan), Rasulullah n menyampaikan khutbahnya di hadapan manusia yang jumlahnya berpuluh-puluh ribu, yang di antara isinya adalah haramnya menumpahkan darah kaum muslimin dan merampas harta mereka sebagaimana kesucian hari Arafah, di bulan Dzul Hijjah, dan di tanah suci Makkah. (lihat Shahih Muslim no. 1218)
Pesan-pesan Nabi n dalam khutbah di Arafah tergolong wasiat beliau yang terakhir. Tidak lebih dari empat bulan setelah itu beliau meninggal dunia.
Sesungguhnya di antara tuntutan keimanan adalah menginginkan kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia inginkan bagi dirinya. Seseorang tidak dikatakan sebagai muslim sejati apabila muslim yang lainnya tidak terhindar dari kejahatan lisan dan tangannya.
Secara umum dan dalam bentuk apa pun, seseorang diharamkan untuk melenyapkan dan merampas harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Nabi n bersabda:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Bahkan di saat perkumpulan akbar, ketika haji wada’ (perpisahan), Rasulullah n menyampaikan khutbahnya di hadapan manusia yang jumlahnya berpuluh-puluh ribu, yang di antara isinya adalah haramnya menumpahkan darah kaum muslimin dan merampas harta mereka sebagaimana kesucian hari Arafah, di bulan Dzul Hijjah, dan di tanah suci Makkah. (lihat Shahih Muslim no. 1218)
Pesan-pesan Nabi n dalam khutbah di Arafah tergolong wasiat beliau yang terakhir. Tidak lebih dari empat bulan setelah itu beliau meninggal dunia.
Sesungguhnya di antara tuntutan keimanan adalah menginginkan kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia inginkan bagi dirinya. Seseorang tidak dikatakan sebagai muslim sejati apabila muslim yang lainnya tidak terhindar dari kejahatan lisan dan tangannya.
Kecurangan dan Ancamannya
Allah l telah membuka pintu-pintu usaha yang halal bagi para hamba agar mereka bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Hanya orang-orang jahatlah yang menganggap usaha halal belum mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu, mereka tidak peduli dengan cara apa memperoleh harta.
Lantas apa gunanya kekayaan yang menumpuk bila ujungnya masuk neraka yang menyala-nyala? Allah l berfirman:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (al-Muthaffifin: 1—3)
Wahai para pedagang! Wahai orang-orang yang melaksanakan akad jual-beli! Jadikanlah ayat-ayat tersebut selalu terpampang di hadapan Anda, agar Anda mengetahui bahwa apabila Anda berbuat curang dalam menakar, menimbang, mengukur, dan semisalnya, maka kecelakaan hidup selalu menyertai Anda. Janganlah kesenangan Anda di dunia yang sebentar ini Anda tukar dengan azab neraka yang tak terbayangkan kedahsyatannya. Demi Allah, masih banyak rezeki Allah l yang bertebaran dan belum digali. Bersabarlah meniti usaha yang jujur dan mohonlah selalu kepada Allah l akan barakah-Nya. Andai Anda belum mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, janganlah bersedih hati. Biarpun sedikit tetapi diberkahi Allah l. Itu jauh lebih mulia daripada mendapat banyak harta, namun kesudahannya adalah kehancuran.
Bila Anda ingin tetap termasuk golongan umat Nabi n, buanglah jauh-jauh keinginan berbuat curang. Nabi n bersabda:
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa menipu maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR. at-Tirmidzi dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani)
Ingatlah, jika daging Anda tumbuh dari sesuatu yang haram maka doa dan permohonan Anda kepada Allah l sangat jauh dari dikabulkan. Demikian pula, apabila pakaian dan minuman Anda dari sesuatu yang haram. Allah l tidaklah menyelisihi janji-Nya untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya, namun syarat dan adab berdoa tetap harus dipenuhi.
Allah l telah membuka pintu-pintu usaha yang halal bagi para hamba agar mereka bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Hanya orang-orang jahatlah yang menganggap usaha halal belum mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu, mereka tidak peduli dengan cara apa memperoleh harta.
Lantas apa gunanya kekayaan yang menumpuk bila ujungnya masuk neraka yang menyala-nyala? Allah l berfirman:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (al-Muthaffifin: 1—3)
Wahai para pedagang! Wahai orang-orang yang melaksanakan akad jual-beli! Jadikanlah ayat-ayat tersebut selalu terpampang di hadapan Anda, agar Anda mengetahui bahwa apabila Anda berbuat curang dalam menakar, menimbang, mengukur, dan semisalnya, maka kecelakaan hidup selalu menyertai Anda. Janganlah kesenangan Anda di dunia yang sebentar ini Anda tukar dengan azab neraka yang tak terbayangkan kedahsyatannya. Demi Allah, masih banyak rezeki Allah l yang bertebaran dan belum digali. Bersabarlah meniti usaha yang jujur dan mohonlah selalu kepada Allah l akan barakah-Nya. Andai Anda belum mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, janganlah bersedih hati. Biarpun sedikit tetapi diberkahi Allah l. Itu jauh lebih mulia daripada mendapat banyak harta, namun kesudahannya adalah kehancuran.
Bila Anda ingin tetap termasuk golongan umat Nabi n, buanglah jauh-jauh keinginan berbuat curang. Nabi n bersabda:
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa menipu maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR. at-Tirmidzi dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani)
Ingatlah, jika daging Anda tumbuh dari sesuatu yang haram maka doa dan permohonan Anda kepada Allah l sangat jauh dari dikabulkan. Demikian pula, apabila pakaian dan minuman Anda dari sesuatu yang haram. Allah l tidaklah menyelisihi janji-Nya untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya, namun syarat dan adab berdoa tetap harus dipenuhi.
Sebab-Sebab Terjerumus ke dalam Kecurangan
Ada beberapa faktor yang mendorong seorang untuk berani berbuat curang. Di antaranya:
1. Rakus terhadap harta.
Jalan yang terang menjadi gelap di hadapan orang yang rakus. Yang ada pada dirinya adalah bagaimana hasrat dirinya terpenuhi. Telah hilang dari dirinya sifat belas kasihan terhadap orang lain dan tak memedulikan agamanya menjadi korban. Nabi n bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِى غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Dua serigala yang lapar yang dilepas pada (kerumunan) kambing tidak lebih merusak daripada ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan (dalam merusak) agamanya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Ada beberapa faktor yang mendorong seorang untuk berani berbuat curang. Di antaranya:
1. Rakus terhadap harta.
Jalan yang terang menjadi gelap di hadapan orang yang rakus. Yang ada pada dirinya adalah bagaimana hasrat dirinya terpenuhi. Telah hilang dari dirinya sifat belas kasihan terhadap orang lain dan tak memedulikan agamanya menjadi korban. Nabi n bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِى غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Dua serigala yang lapar yang dilepas pada (kerumunan) kambing tidak lebih merusak daripada ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan (dalam merusak) agamanya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
2. Lemahnya iman.
Tatkala Allah l menyebutkan celaan terhadap orang-orang yang berlaku curang dalam menakar dan menimbang, Allah l menjelaskan hal yang mendorong mereka melakukan hal tersebut, sebagaimana firman-Nya:
“Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?” (al-Muthaffifin: 4—6)
Yang membuat mereka berani melakukan kecurangan adalah ketidakpercayaan mereka terhadap hari akhir, padahal seandainya mereka mengimaninya dan mengetahui bahwa mereka akan berdiri di hadapan-Nya—Dzat yang akan menghitung seluruh perbuatannya baik sedikit maupun banyak—niscaya ia akan berhenti dari perbuatannya dan bertobat. (Lihat Tafsir as-Sa’di)
Jawaban apa yang akan dikemukakan nanti di hari kiamat saat seseorang ditanyai Allah l tentang asal-usul hartanya? Nabi n bersabda:
لَا تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَما ذَا عَمِلَ فِيْما عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki manusia dari sisi Rabbnya pada hari kiamat sampai ditanya tentang lima hal: Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan? Tentang masa mudanya, untuk apa ia pergunakan? Tentang hartanya, dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan? Dan apa yang ia amalkan dari ilmunya?” (Disahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2416)
Tatkala Allah l menyebutkan celaan terhadap orang-orang yang berlaku curang dalam menakar dan menimbang, Allah l menjelaskan hal yang mendorong mereka melakukan hal tersebut, sebagaimana firman-Nya:
“Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?” (al-Muthaffifin: 4—6)
Yang membuat mereka berani melakukan kecurangan adalah ketidakpercayaan mereka terhadap hari akhir, padahal seandainya mereka mengimaninya dan mengetahui bahwa mereka akan berdiri di hadapan-Nya—Dzat yang akan menghitung seluruh perbuatannya baik sedikit maupun banyak—niscaya ia akan berhenti dari perbuatannya dan bertobat. (Lihat Tafsir as-Sa’di)
Jawaban apa yang akan dikemukakan nanti di hari kiamat saat seseorang ditanyai Allah l tentang asal-usul hartanya? Nabi n bersabda:
لَا تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَما ذَا عَمِلَ فِيْما عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki manusia dari sisi Rabbnya pada hari kiamat sampai ditanya tentang lima hal: Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan? Tentang masa mudanya, untuk apa ia pergunakan? Tentang hartanya, dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan? Dan apa yang ia amalkan dari ilmunya?” (Disahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2416)
3. Minimnya bimbingan agama.
Segala kesesatan yang ada di muka bumi ini pada dasarnya tidak keluar dari salah satu dari dua hal: kebodohan, dan mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, tugas para ulama dan da’i sangat besar untuk menyadarkan manusia dari setiap penyimpangan. Sungguh, ruang untuk memberikan bimbingan keagamaan sangatlah luas. Bisa berupa tulisan, ceramah, dan semisalnya. Apabila bimbingan digalakkan, kebaikan akan menebar, dan kejelekan akan meredup. Ini merupakan tugas mulia yang dengannya umat ini meraih predikat sebaik-baik umat. Allah l berfirman:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Berangkat dari keimanan yang dalam dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap umat, para ulama hendaknya bersemangat memainkan perannya dalam mengajak umat kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Inilah kewajiban yang dipikulkan oleh Allah l di pundak mereka, sebagaimana firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Asy-Syaikh as-Sa’di t mengatakan, “Ini adalah bimbingan Allah l terhadap para mukminin agar ada dari mereka sekelompok orang yang terjun di medan dakwah, mengajak manusia ke jalan-Nya, serta mengarahkan mereka kepada agama-Nya. Masuk dalam kelompok ini para ulama yang mengajarkan agama dan para juru nasihat yang mengajak para pemeluk agama (selain Islam) untuk masuk ke dalam Islam. Mereka mengajak manusia yang menyimpang kepada jalan yang lurus, berjihad di jalan Allah l, terjun untuk mengawasi kondisi manusia, dan mengharuskan kepada manusia agar berpegang teguh dengan agama seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lainnya dari syariat Islam. (Mereka juga terjun) memeriksa takaran dan timbangan, memantau para pedagang di pasar, serta mencegah mereka dari penipuan dan transaksi yang batil.” (Taisir al-Karimir Rahman)
Bila kewajiban ini diabaikan hingga kemungkaran merajalela, petaka akan menimpa siapa saja seperti sabda Nabi n (yang artinya), “Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran dan tidak mengubahnya maka telah dekat untuk Allah l meratakan azab-Nya.” (HR. Ahmad dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani)
Segala kesesatan yang ada di muka bumi ini pada dasarnya tidak keluar dari salah satu dari dua hal: kebodohan, dan mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, tugas para ulama dan da’i sangat besar untuk menyadarkan manusia dari setiap penyimpangan. Sungguh, ruang untuk memberikan bimbingan keagamaan sangatlah luas. Bisa berupa tulisan, ceramah, dan semisalnya. Apabila bimbingan digalakkan, kebaikan akan menebar, dan kejelekan akan meredup. Ini merupakan tugas mulia yang dengannya umat ini meraih predikat sebaik-baik umat. Allah l berfirman:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Berangkat dari keimanan yang dalam dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap umat, para ulama hendaknya bersemangat memainkan perannya dalam mengajak umat kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Inilah kewajiban yang dipikulkan oleh Allah l di pundak mereka, sebagaimana firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Asy-Syaikh as-Sa’di t mengatakan, “Ini adalah bimbingan Allah l terhadap para mukminin agar ada dari mereka sekelompok orang yang terjun di medan dakwah, mengajak manusia ke jalan-Nya, serta mengarahkan mereka kepada agama-Nya. Masuk dalam kelompok ini para ulama yang mengajarkan agama dan para juru nasihat yang mengajak para pemeluk agama (selain Islam) untuk masuk ke dalam Islam. Mereka mengajak manusia yang menyimpang kepada jalan yang lurus, berjihad di jalan Allah l, terjun untuk mengawasi kondisi manusia, dan mengharuskan kepada manusia agar berpegang teguh dengan agama seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lainnya dari syariat Islam. (Mereka juga terjun) memeriksa takaran dan timbangan, memantau para pedagang di pasar, serta mencegah mereka dari penipuan dan transaksi yang batil.” (Taisir al-Karimir Rahman)
Bila kewajiban ini diabaikan hingga kemungkaran merajalela, petaka akan menimpa siapa saja seperti sabda Nabi n (yang artinya), “Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran dan tidak mengubahnya maka telah dekat untuk Allah l meratakan azab-Nya.” (HR. Ahmad dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani)
4. Lemahnya pengawasan pemerintah.
Kekuasaan adalah amanah yang diemban untuk mengatur kehidupan manusia agar selalu berada pada jalan yang lurus. Menebarkan keadilan serta mewujudkan rasa aman dan nyaman pada diri rakyat, harta, dan kehormatan mereka adalah tanggung jawab pemerintah. Demikian pula hendaknya mereka menindak setiap kezaliman dan menutup celah yang akan mengantarkan kepada terganggunya stabilitas masyarakat.
Pada suatu saat, Rasulullah n melewati suatu tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut. Ternyata, beliau mendapatkan bagian tengah makanan itu basah. Rasulullah n bertanya kepada penjual, “Apa ini?”
“Terkena hujan, wahai Rasulullah,” jawab penjual.
Rasulullah n bersabda, “Mengapa kamu tidak letakkan di atas, agar orang melihatnya? Barang siapa yang menipu, tidak termasuk golonganku.” (HR. Muslim)
Ketegasan penguasa dalam menindak para penipu dan para pelaku kecurangan bisa mengekang gelombang aksi penipuan. Bila di masa Nabi n ada pedagang yang berusaha menipu pembeli demi meraih keuntungan, tentu di zaman sekarang sudah menjadi rahasia umum justru kebanyakan pedagang melakukan praktik demikian. Anda dapatkan sebagian mereka meletakkan buah-buahan yang busuk di antara buah yang bagus dan segar untuk mengelabui pembeli. Ada yang mencampur BBM dengan bahan lain demi meraup keuntungan berlipat. Ada yang timbangan dan takarannya dibuat berbeda untuk membeli dan menjual, serta masih banyak lagi contohnya.
Maka dari itu, pemerintah tidak boleh menganggap ringan permasalah ini, bila dibiarkan maka krisis agama tak bisa dihindarkan sebelum terjadi krisis ekonomi.
Wallahu a’lam.
Kekuasaan adalah amanah yang diemban untuk mengatur kehidupan manusia agar selalu berada pada jalan yang lurus. Menebarkan keadilan serta mewujudkan rasa aman dan nyaman pada diri rakyat, harta, dan kehormatan mereka adalah tanggung jawab pemerintah. Demikian pula hendaknya mereka menindak setiap kezaliman dan menutup celah yang akan mengantarkan kepada terganggunya stabilitas masyarakat.
Pada suatu saat, Rasulullah n melewati suatu tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut. Ternyata, beliau mendapatkan bagian tengah makanan itu basah. Rasulullah n bertanya kepada penjual, “Apa ini?”
“Terkena hujan, wahai Rasulullah,” jawab penjual.
Rasulullah n bersabda, “Mengapa kamu tidak letakkan di atas, agar orang melihatnya? Barang siapa yang menipu, tidak termasuk golonganku.” (HR. Muslim)
Ketegasan penguasa dalam menindak para penipu dan para pelaku kecurangan bisa mengekang gelombang aksi penipuan. Bila di masa Nabi n ada pedagang yang berusaha menipu pembeli demi meraih keuntungan, tentu di zaman sekarang sudah menjadi rahasia umum justru kebanyakan pedagang melakukan praktik demikian. Anda dapatkan sebagian mereka meletakkan buah-buahan yang busuk di antara buah yang bagus dan segar untuk mengelabui pembeli. Ada yang mencampur BBM dengan bahan lain demi meraup keuntungan berlipat. Ada yang timbangan dan takarannya dibuat berbeda untuk membeli dan menjual, serta masih banyak lagi contohnya.
Maka dari itu, pemerintah tidak boleh menganggap ringan permasalah ini, bila dibiarkan maka krisis agama tak bisa dihindarkan sebelum terjadi krisis ekonomi.
Wallahu a’lam.