Berpakaian Tipis Dihadapan Suami
Apa hukum wanita yang mengenakan pakaian tipis, ketat, sehingga menampakkan kedua betis di hadapan suaminya? Apakah ini termasuk di dalam hadits Nabi n tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang?
(nhi…@yahoo.com)
Jawab:
Dibolehkan bagi wanita untuk mengenakan pakaian yang tipis, ketat, dan pendek di hadapan suaminya, karena tidak ada batasan aurat antara suami-istri, berdasarkan firman Allah l:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali di hadapan istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka mereka dalam hal ini tidaklah tercela (bila menampakkannya).” (al-Mukminun: 5—6)
Aisyah x mengabarkan:
Dibolehkan bagi wanita untuk mengenakan pakaian yang tipis, ketat, dan pendek di hadapan suaminya, karena tidak ada batasan aurat antara suami-istri, berdasarkan firman Allah l:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali di hadapan istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka mereka dalam hal ini tidaklah tercela (bila menampakkannya).” (al-Mukminun: 5—6)
Aisyah x mengabarkan:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ n مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَنَحْنُ جُنُبَانِ
“Aku pernah mandi bersama Nabi n dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 250 dan Muslim no. 321)
Al-Hafizh lbnu Hajar al-Asqalani t berkata, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Pendapat ini dikuatkan dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat aurat istrinya. Maka Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1/455).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab, “Tidak ada aurat antara suami dengan istrinya.” Sebelumnya beliau membawakan dalil sebagaimana yang kami nukilkan dalam jawaban kami di atas. (Lihat Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 1/417—418)
Karena suami dan istri dibolehkan untuk saling melihat aurat masing-masing, maka istri yang mengenakan pakaian tipis, ketat, dan pendek di hadapan suaminya tidaklah termasuk dalam hadits Nabi n: “Dua golongan dari penduduk an-naar (neraka) yang aku belum pernah melihat mereka sebelumnya.”
Kemudian beliau menyebutkan golongan yang pertama, setelahnya beliau lanjutkan dengan golongan kedua, yaitu, “Para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang….” (Sahih, HR. Muslim no. 2128)
Wallahu ta‘ala a‘lam.
Karena suami dan istri dibolehkan untuk saling melihat aurat masing-masing, maka istri yang mengenakan pakaian tipis, ketat, dan pendek di hadapan suaminya tidaklah termasuk dalam hadits Nabi n: “Dua golongan dari penduduk an-naar (neraka) yang aku belum pernah melihat mereka sebelumnya.”
Kemudian beliau menyebutkan golongan yang pertama, setelahnya beliau lanjutkan dengan golongan kedua, yaitu, “Para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang….” (Sahih, HR. Muslim no. 2128)
Wallahu ta‘ala a‘lam.
MEMAKAl PERHlASAN EMAS
YANG MELlNGKAR
YANG MELlNGKAR
Bagaimana hukum mengenakan perhiasan emas yang melingkar, misalnya gelang, kalung, cincin, atau yang lainnya bagi wanita?
nuu…@plasa.com
nuu…@plasa.com
Jawab:
Masalah hukum mengenakan perhiasan emas yang melingkar1 bagi wanita diperselisihkan oleh ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama yaitu dibolehkan bagi wanita untuk mengenakan perhiasan emas tanpa dibedakan bentuknya melingkar ataupun tidak.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz t dalam fatwanya memberikan bantahan terhadap mereka yang berpendapat haramnya wanita mengenakan perhiasan emas melingkar. Antara lain beliau t mengatakan, “Halal bagi wanita untuk mengenakan perhiasan emas, baik bentuknya melingkar ataupun tidak, karena keumuman firman Allah l:
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran?” (az-Zukhruf: 18)
Dalam ayat di atas, Allah l menyebutkan bahwasanya suka memakai perhiasan itu termasuk salah satu sifat wanita. Perhiasan di sini umum, mencakup emas dan selainnya.
Juga dengan hadits yang diriwayatkan al-lmam Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasa’i, dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z. Beliau mengabarkan bahwa Nabi n pernah mengambil sutera, lalu beliau letakkan di tangan kanannya dan mengambil emas lalu beliau letakkan pada tangan kirinya, kemudian beliau bersabda:
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي
“Sesungguhnya dua benda ini haram untuk dikenakan oleh kaum laki-laki dari kalangan umatku.”
lbnu Majah t menambahkan dalam riwayatnya:
lbnu Majah t menambahkan dalam riwayatnya:
حِلٌّ لِإِنَاثِهِْم
“Namun halal bagi kaum wanitanya.”
Kemudian asy-Syaikh Ibnu Baz t membawakan dalil lain yang mendukung pendapat ini berikut ucapan para ulama, seperti al-Baihaqi, an-Nawawi, al-Hafizh lbnu Hajar, dan selain mereka. Beliau menegaskan, “Adapun hadits-hadits yang lahiriahnya melarang wanita mengenakan emas maka hadits-hadits tersebut syadz (ganjil), karena menyelisihi hadits lain yang lebih sahih dan lebih kokoh.”
Di akhir fatwanya beliau t menyatakan tidak benarnya pendapat yang mengatakan dalil-dalil yang melarang pemakaian emas dibawa pemahamannya kepada emas yang melingkar, sedangkan dalil-dalil yang menghalalkan dibawa pemahamannya kepada emas yang tidak melingkar. Karena di antara hadits yang menghalalkan emas bagi wanita ada yang menyebutkan halalnya cincin sementara cincin itu bentuknya melingkar. Ada pula yang menyebutkan halalnya gelang sementara gelang bentuknya melingkar. Selain itu, hadits-hadits yang menunjukkan halalnya emas menyebutkan secara mutlak tanpa memberikan batasan bentuk tertentu, maka wajib mengambil pemahamannya secara umum.
Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat permasalahan ini dalam al-Fatawa Kitabud Da’wah (1/242—247) karya asy-Syaikh Ibnu Baz t atau sebagaimana dinukilkan dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah (1/453—457). Wallahu ta‘ala a‘lam.