(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri Lc.)
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang menceritakan kisah pengutusan sahabat Mu’adz bin Jabal z ke negeri Yaman. Ketika itu Nabi n bersabda:
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi orang-orang dari ahlul kitab. Maka dari itu, jadikanlah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah l dalam beribadah. Apabila mereka telah menaatimu dalam hal ini maka ajari mereka bahwa Allah l telah mewajibkan shalat lima waktu kepada mereka. Apabila telah menaatimu dalam hal ini maka ajari mereka bahwa Allah l telah mewajibkan zakat kepada mereka, yang diambil dari kalangan orang kaya di antara mereka serta diberikan kepada orang-orang fakir dari kalangan mereka….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, “Hadits ini menyebutkan tahapan berdakwah. Dakwah dimulai dari yang paling penting terlebih dahulu, kemudian yang penting berikutnya. Inilah jalan para rasul, yaitu bahwa yang pertama kali disampaikan dalam memulai dakwah mereka adalah persaksian terhadap kalimat Laa ilaha illallah karena hal ini merupakan pokok dan fondasi yang agama dibangun di atasnya. Apabila telah terwujud persaksian terhadap kalimat Laa ilaha illallah ini, barulah bisa dibangun perkara yang lainnya di atasnya. Namun, apabila persaksian terhadap kalimat Laa ilaaha illallah ini belum terwujud maka hal-hal lainnya tidak bermanfaat. Maka dari itu, janganlah engkau mengajak orang untuk shalat sementara mereka masih melakukan syirik. Janganlah engkau perintahkan untuk puasa, bersedekah, zakat, silaturahim, atau melakukan ini dan itu dalam keadaan mereka masih berbuat syirik terhadap Allah l. Hal ini karena engkau belum meletakkan fondasi terlebih dahulu. Hal ini tidak seperti yang dilakukan kebanyakan dai di masa ini yang tidak memerhatikan dakwah kepada persaksian terhadap kalimat Laa ilaha illallah. Mereka mengajak manusia untuk meninggalkan riba, mengajak kepada pergaulan yang baik, dan menegakkan syariat Allah l, namun urusan tauhid tidak mereka sebutkan dan tidak mereka hiraukan. Bahkan, seakan-akan tauhid bukan masalah yang diwajibkan. La haula wa la quwwata illa billah!
Oleh sebab itu, meskipun mereka telah bersusah payah berdakwah, namun tidak akan bermanfaat sampai mereka mewujudkan pokok dan fondasi yang agama dibangun di atasnya, baik berupa penegakan syariat, shalat, zakat, haji, dan lainnya. Demikianlah cara dakwah para nabi. Allah l berfirman:
Dan sungguh Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Beribadahlah kalian kepada Allah saja dan jauhilah sesembahan selain-Nya.” (an-Nahl: 36) (I’anatul Mustafid 1/147)
Tanpa MengutamakanTauhid, Dakwah akan Sia-Sia
Yang pertama kali diserukan oleh seluruh rasul dalam dakwahnya adalah mengajak kepada persaksian terhadap kalimat La ilaaha illallah. Mereka mengajak kepada tauhid, kepada perbaikan akidah. Setelah itu, mereka mengajak kepada hal-hal lain yang berkaitan dengan agama. Maka dari itu, apabila seseorang memulai dakwah dengan sebaliknya, yakni dengan hal-hal yang bukan pokok dan bukan prinsip, sementara hal yang merupakan fondasi agama mereka tinggalkan, dakwahnya tidak bermanfaat.
Seandainya masyarakat telah menjauhi riba, menjaga shalat, memenuhi masjid-masjid, dan mengamalkan semua amalan, namun mereka belum bertauhid dan masih berdoa kepada selain Allah l, kepada para wali, orang-orang saleh, para nabi dan kuburan-kuburan, amalan-amalan mereka tidak ada faedahnya. Bahkan, mereka bukanlah kaum muslimin meskipun menjalankan shalat dan puasa.” (I’anatul Mustafid 1/148)
Yang pertama kali diserukan oleh seluruh rasul dalam dakwahnya adalah mengajak kepada persaksian terhadap kalimat La ilaaha illallah. Mereka mengajak kepada tauhid, kepada perbaikan akidah. Setelah itu, mereka mengajak kepada hal-hal lain yang berkaitan dengan agama. Maka dari itu, apabila seseorang memulai dakwah dengan sebaliknya, yakni dengan hal-hal yang bukan pokok dan bukan prinsip, sementara hal yang merupakan fondasi agama mereka tinggalkan, dakwahnya tidak bermanfaat.
Seandainya masyarakat telah menjauhi riba, menjaga shalat, memenuhi masjid-masjid, dan mengamalkan semua amalan, namun mereka belum bertauhid dan masih berdoa kepada selain Allah l, kepada para wali, orang-orang saleh, para nabi dan kuburan-kuburan, amalan-amalan mereka tidak ada faedahnya. Bahkan, mereka bukanlah kaum muslimin meskipun menjalankan shalat dan puasa.” (I’anatul Mustafid 1/148)
Bukan Berarti Selain Tauhid Tidak Penting
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Ada kelompok dakwah yang mengajak kepada penegakan hukum syariat dan politik (yang tidak syar’i). Mereka menuntut ditegakkannya hukum-hukum had dan ditegakkannya syariat Islam dalam menghukumi manusia. Benar bahwa ini adalah perkara penting, tetapi bukan yang paling penting. Bagaimana mungkin dituntut untuk ditegakkan syariat Islam bagi pencuri dan pezina sebelum dituntut untuk ditegakkan syariat bagi orang yang berbuat syirik? …
Ada pula kelompok dakwah lain dengan metode dakwah yang juga menyelisihi jalan Rasulullah n dan tidak menganggap pentingnya dakwah kepada tauhid. Mereka lebih mementingkan sisi ritual ibadah, seperti membiasakan berzikir dengan mengikuti model orang-orang sufi. Mereka juga menekankan amalan khuruj serta bepergian untuk mengajak orang agar bergabung dengan kelompok ini tanpa melihat sisi akidah mereka… .
Semua dakwah (yang menyelisihi jalan Rasulullah n) ini ibarat mengobati badan namun membiarkan kepalanya putus dari badan, karena akidah dalam agama ibarat kepala bagi badan manusia.” (Manhajul Anbiya’ hlm. 23—24)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Ada kelompok dakwah yang mengajak kepada penegakan hukum syariat dan politik (yang tidak syar’i). Mereka menuntut ditegakkannya hukum-hukum had dan ditegakkannya syariat Islam dalam menghukumi manusia. Benar bahwa ini adalah perkara penting, tetapi bukan yang paling penting. Bagaimana mungkin dituntut untuk ditegakkan syariat Islam bagi pencuri dan pezina sebelum dituntut untuk ditegakkan syariat bagi orang yang berbuat syirik? …
Ada pula kelompok dakwah lain dengan metode dakwah yang juga menyelisihi jalan Rasulullah n dan tidak menganggap pentingnya dakwah kepada tauhid. Mereka lebih mementingkan sisi ritual ibadah, seperti membiasakan berzikir dengan mengikuti model orang-orang sufi. Mereka juga menekankan amalan khuruj serta bepergian untuk mengajak orang agar bergabung dengan kelompok ini tanpa melihat sisi akidah mereka… .
Semua dakwah (yang menyelisihi jalan Rasulullah n) ini ibarat mengobati badan namun membiarkan kepalanya putus dari badan, karena akidah dalam agama ibarat kepala bagi badan manusia.” (Manhajul Anbiya’ hlm. 23—24)
Dakwah Salafiyah adalah Dakwah yang Mengajak kepada Islam Secara Kaffah
Setiap dai wajib mengajak umat kepada seluruh ajaran Islam, yaitu seluruh urusan yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan hadits Nabi n. Dimulai dari perkara terbesar yang merupakan fondasi bagi seluruh ajaran Islam yang lainnya, yaitu akidah yang benar, lalu diikuti hal-hal lainnya, baik yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, maupun muamalah. Dakwah salafiyah juga mengajak kepada penegakan shalat, penunaian zakat, puasa Ramadhan, dan haji. Demikian pula dakwah salafiyah mengajak manusia kepada jihad fi sabilillah, amar ma’ruf nahi munkar, dan berhukum dengan syariat Allah l. Selain itu, dakwah salafiyah pun mengajak umat untuk menegakkan syariat yang berkaitan dengan muamalah, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, dan lainnya. Dakwah salafiyah tidak hanya mengajak kepada akidah saja tanpa akhlak yang mulia. Dakwah salafiyah tidak pula hanya mengajak umat kepada ritual ibadah namun mengabaikan sisi ekonomi yang bersifat keduniaan. Dakwah salafiyah adalah dakwah yang mengajak kepada ajaran Islam yang memerhatikan kebaikan manusia, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Oleh karena itu, dakwah ini mencakup ajakan untuk mengikhlaskan ibadah, menjauhi bid’ah, menasihati penguasa dan masyarakat, amanah dalam bermuamalah, ukhuwah Islamiah, dan lainnya. Hal ini perlu diingatkan agar ketika seseorang menginginkan dirinya dan orang lain menjadi salafi (pengikut dakwah salafiyah), dia benar-benar berusaha mengimani semua yang datang dari Nabi n secara keseluruhan.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menerangkan, “Urusan yang didakwahkan kepada khalayak dan wajib dijelaskan oleh seorang dai kepada umat sebagaimana yang telah disampaikan oleh para rasul e adalah dakwah kepada ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus). Dakwah kepada Islam yang merupakan agama Allah l yang haq. Itulah ajakan yang diinginkan dalam berdakwah. Allah l berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu.” (an-Nahl: 125)
Jalan Allah l adalah Islam. Dialah jalan yang lurus. Dia pula agama yang dengannya Nabi-Nya diutus. Demikianlah yang wajib diinginkan dari dakwah. Tidak mengajak kepada mazhab orang ini atau mengajak kepada pendapat orang itu. Akan tetapi, dakwah mengajak kepada agama Allah l atau kepada jalan Allah l yang lurus, yang Allah l mengutus dengannya Nabi-Nya dan Khalil-Nya, Muhammad n. Dakwah kepada ajaran yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an yang agung dan Sunnah yang suci yang benar-benar datang dari Rasulullah n. Ajaran yang terpenting dan terdepan adalah ajakan kepada akidah yang benar, yaitu memurnikan ibadah hanya untuk mencari ridha Allah l dan mentauhidkan-Nya dalam hal ibadah. Begitu pula beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya serta iman kepada hari akhir dan beriman dengan segala yang diberitakan oleh Allah l dan Rasul-Nya. Hal ini adalah fondasi jalan yang lurus. Dakwah yang mengajak kepada perwujudan terhadap syahadat La ilaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah. (ad-Da’wah ilallah, hlm. 24—25)