Remeh tapi Bahaya
Ada sebuah kebiasaan buruk yang tersebar di tengah kaum muslimin, bagaikan cendawan di musim hujan. Kebiasaan buruk itu adalah dusta alias bohong. Banyak diantara kita menganggap dusta itu sebagai perkara yang remeh. Betul, remeh bagi sebagian orang, tapi dosanya besar, dan berbahaya bagi iman kita!!
Saking tersebarnya kebiasaan bohong ini, kini sulit menemukan orang-orang yang jujur. Bohong dilariskan oleh para pedagang. Pelawak mengambil dusta sebagai bumbu banyolan. Anak sekolah tidak ketinggalan ikut berbohong saat ujian (baca: menyontek). Para ustadz dan muballigh yang tampil di mimbar menghiasi ceramah mereka dengan hadits-hadits palsu dan lemah. Kebanyakan wartawan menjadikan dusta sebagai mata pencaharian. Di sebagian tempat, dusta dijadikan sebagai sistem kerja yang harus dilakoni, sehingga muncullah istilah “sogok-menyogok”, “korupsi”, dan lainnya.
Perkara dusta ini kemudian diperparah dengan adanya acara-acara yang ditayangkan di televisi. Acara-acara tersebut melatih dan mengajari generasi dan masyarakat untuk berbohong. Sederet acara membimbing mereka menuju kedustaan, telah antri di depan mata.
Kondisi seperti ini mengingatkan kami tentang sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ, يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ, وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا اْلأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ . قِيْلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قال: الرَّجُلُ التَّافِهُ فِيْ أَمْرِ العَامَّةِ
“Akan datang pada manusia tahun-tahun yang menipu; di dalamnya pendusta dibenarkan, orang jujur didustakan; orang yang penipu dipercaya, dan orang yang amanah dianggap pengkhianat, serta ruwaibidhoh ikut berbicara”. Ada yang bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh (orang lemah)?” Beliau bersabda, “Dia adalah seorang hina (dungu) berkomentar tentang urusan umum”. [HR. Ibnu Majah dalam Kitab Al-Fitan (4036). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no.1887)]
Kini si pendusta dibenarkan, dan si jujur dianggap dusta, sehingga apabila kita berusaha jujur, maka ada selentingan jahat yang lewat di telinga kita, “Jangan terlalu alim, jangan terlalu jujur”. Padahal bukankah orang semakin jujur, maka ia semakin baik? Tapi demikianlah jika akal sudah terbalik, yang baik dianggap buruk; yang buruk dianggap baik.
Para pembaca yang budiman, demikianlah dusta pada hari ini dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Diantara bentuk dusta yang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin :
1. Menjanjikan kepada Anak Kecil untuk Diberi Sesuatu, Padahal Dia Bohong, (seperti: ucapan seorang ibu kepada anaknya, “Kemarilah saya akan memberimu ini”. Tatkala si anak datang, ia tidak memberinya sesuatu apapun)
Hendaknya seorang ibu mendidik anaknya sejak dini untuk berlaku jujur, dan menjauhi dusta. Anak kita janganlah dilatih berdusta, sebab dusta yang ia dengar dan alami akan membekas dalam hatinya, sehingga ia pun mencontoh hal tersebut. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ قَالَ لِصَبِيٍّ تَعَالَ هَاكَ ثُمَّ لَمْ يُعْطِهِ فَهِيَ كَذْبَةٌ
“Barangsiapa yang berkata kepada si kecil, “Kemarilah, saya akan memberimu sesuatu”, lalu ia tidak memberinya, maka itu adalah sebuah kebohongan.”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/452). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib (no. 2942)]
Abdullah bin Amir bin Robi’ah Al-Adawiy -radhiyallahu anhu- berkata,
دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Pada suatu hari, ibuku memanggilku, sedang Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- duduk-duduk di rumah kami. Lalu ibuku berkata, “Ayo kesini, akan kuberikan sesuatu kepadamu”. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepadanya, “Apakah engkau tidak akan memberinya?!” Ibuku berkata, “Aku akan berikan korma kepadanya”. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepadanya, “Ingatlah, sesungguhnya andaikan engkau tidak memberikan sesuatu kepadanya, maka akan dituliskan sebuah kedustaan bagimu”. [HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Adab (no. 4991). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (no. 748)]
Berbohong kepada anak kecil akan membuka luas pintu kejelekkan, sebab anak kecil akan meniru kejadian itu, lalu ia pun ikut berbohong dalam ucapannya, karena sudah dibiasakan oleh orang tuanya.
Para pembaca yang budiman, orang-orang Arab jahiliah adalah kaum yang amat menjaga kejujuran, dan menjauhi dusta. Mereka mendidik anak-anaknya dengan kejujuran, mereka memandang bahwa kebohongan itu perangai yang sangat rendah. Sehingga ketika Abu Sufyan (saat itu masih kafir) ditanya oleh Hiroqla (Heraclius), Sang Raja Romawi tentang sifat Nabi –Shollallahu Alaihi Wasallama-, maka Abu Sufyan menjawabnya dengan penuh kejujuran. Abu Sufyan -radhiyallahu anhu- berkata,
فَوَاللَّهِ لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَنْهُ
”Demi Allah sekiranya bukan karena malu jika mereka menukil suatu kebohongan padaku, sungguh aku akan berdusta ketika itu atas beliau (yakni, atas Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Bad'il Wahyi (no. 7)]
Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata , “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa mereka (kafir Quraisy) dahulu menganggap kedustaan sebagai kejelekan, entah mereka mengambil hal itu dari syari’at yang sebelumnya atau berdasarkan kebiasaan”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (1/48), cet. Darus Salam]
Jika orang kafir jahiliah saja berlaku jujur, maka tentunya kita sebagai muslim yang memiliki syari’at yang suci harus lebih jujur dibandingkan mereka.
2. Dusta Demi Canda
Satu bentuk kebiasaan buruk jika seseorang berusaha untuk membuat orang lain senang dan tertawa, namun ia mengucapkan sesuatu yang dusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pelawak, dan pemain sandiwara atau orang yang cari-cari muka.
Nabi –Shollallahu Alaihi Wasallama- bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ, فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Kecelakaan bagi orang yang telah bercerita dengan suatu omongan untuk membuat suatu kaum jadi tertawa, lalu ia dusta. Kecelakaan baginya, kecelakaan baginya”. [HR. At-Tirmidziy (no. 235). Di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no. 2944)]
Jauhilah dusta dalam bercanda, sebab ini akan meluputkan kalian dari suatu fadhilah dan balasan agung yang disebutkan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ ربض الْجَنَّةِ لَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًا وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
“Aku akan memberikan jaminan sebuah rumah di pinggir surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar, dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta sekalipun ia bercanda, serta rumah di bagian atas surga bagi orang yang akhlaknya bagus”. [HR. Abu Dawud dalamAs-Sunan (4800). Lihat Ash-Shohihah (494)]
3. Diantara bentuk kebohongan, ucapan seseorang, “Saya telah bermimpi demikian”, padahal dia tidak melihat sesuatu apapun.
Sebagian orang ada yang mengaku bermimpi melihat surga, neraka atau melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, padahal ia tidak melihat apapun. Parahnya lagi, jika mengaku demikian karena ada tendensi buruk, misalnya agar ia dianggap orang sholeh atau dianggap wali, sehingga pada gilirannya ia dikultuskan orang atau menjadi dukun alias “orang pintar” yang bisa mengobati segala penyakit!! Nabi –Shollallahu Alaihi Wasallama- bersabda,
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ
“Barangsiapa yang mengaku bermimpi dengan suatu mimpi yang ia tidak saksikan, maka akan dibebankan kepadanya untuk mengikat antara dua biji gandum, sedang dia tidak akan mampu melakukannya”.[HR. Al-Bukhoriy (no. 7042)]
Ini merupakan siksaan bagi setiap orang yang mengaku bermimpi melihat sesuatu, padahal sama sekali ia tidak bermimpi demikian. Rasulullah –Shollallahu Alaihi Wasallam- bersabda,
إِنَّ مِنْ أَفْرَى الْفِرَى أَنْ يُرِيَ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَ
“Sesungguhnya seburuk-buruk kedustaan adalah orang yang mengaku matanya telah melihat sesuatu, padahal ia tidak melihat apa-apa.” [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab At-Ta'bir (no. 7043)]
Jadi, wajib bagi kita berlaku jujur kepada Allah, dan manusia, serta berusaha untuk jujur sedikit demi sedikit, sehingga kejujuran itu menjadi akhlak kita, niscaya manusia akan mempercayai perkataan, dan muamalah kita. Orang yang jujur akan diangkat derajatnya di mata manusia dan di sisi Allah Sang Pencipta. Allah –Shubhanahu Wataala- berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)”. (At-Taubah:119)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, jujurlah, dan lazimilah kejujuran, niscaya engkau akan bersama pemiliknya, selamat dari pintu-pintu kehancuran, dan Allah akan memberikan kelonggaran dan jalan keluar bagi kalian dari masalah-masalah kalian”. [LihatTafsir Ibnu Katsir (4/230)]