Meluruskan Tafsir Surat Almaidah Ayat 44 Serta Penjelasan Syubuhat Khowarij.
Khawarij
berasal dari kata khuruj yang artinya memberontak. Mereka adalah satu
kelompok yang menjadikan pemberontakan terhadap para penguasa sebagai
agamanya. Mereka mengkafirkan kaum muslimin dengan dosa-dosa besar,
khususnya terhadap para penguasa. Kemudian menghalalkan darah mereka
sebagai jembatan untuk menghalalkan pemberontakan terhadap mereka.
Mereka adalah kaum reaksioner yang berjalan dengan emosinya tanpa
didasari ilmu.
Atas dasar itulah mereka berduyun-duyun datang ke Madinah dari Mesir,
Kuffah dan Basrah menuju rumah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu
menuntut diturunkannya beliau dari Khilafah. Mereka menuduh Utsman
menyelewengkan harta Baitulmal (korupsi), Utsman lebih mementingkan
keluarganya (nepotisme), dan lain-lain. Inilah demonstrasi pertama dalam
sejarah Islam, yang merupakan sunnah sayyi’ah (contoh yang jelek) dari
kaum khawarij. Demonstrasi mereka itu berakhir dengan anarkis hingga
terbunuhlah Utsman ibnu Affan radhiallahu ‘anhu.
Jika
manusia terbaik setelah Abu Bakar dan Umar dituduh dengan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN), maka bagaimana mereka akan puas dengan
khalifah-khalifah setelahnya, terlebih lagi pemimpin kaum muslim pada
zaman kita ini. Dengan kata lain mereka akan tetap tidak pernah puas
terhadap pemimpin manapun sampai akhir zaman. Dan mereka akan terus
hidup memberontak, membunuh dan menteror kaum muslimin.
Kita tidak
berbicara tentang masa lalu yang sudah berakhir ceritanya. Akan tetapi
kita berbicara tentang manhaj khawarij yang masih tetap ada di masa kita
ini, meskipun dengan berbagai macam nama dan identitas yang berbeda
Bahkan mereka kini lebih mengerikan dari pendahulunya. Mereka menebar
teror, kerusuhan, penculikan, pembunuhan dan lain-lain di negeri-negeri
kaum muslimin dengan dalih yang sama: kekafiran, kedzaliman, korupsi,
kolusi, nepotisme dan seterusnya.
Pengkafiran mereka terhadap sesama kaum muslimin itu didasari oleh
syubhat yang mereka yakini sebagai kebenaran yaitu: “Ancaman Allah
(al-wa’id) terhadap orang-orang yang berdosa pasti akan Allah buktikan
sebagaimana janji Allah (al-wa’d) pasti akan ditepati”. Mereka
menganggap al-wa’d (janji dengan kebaikan) dan al-wa’iid (janji dengan
ancaman), keduanya merupakan janji yang mesti Allah tepati. Mereka
bawakan dalil-dalil tentang janji Allah yang pasti ditepati seperti
dalam firman-Nya:
…إِنَّ اللَّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
…Sesungguhnya Allah tidak akan menyalahi janji. (Ali Imran: 9)
Dengan ayat di atas mereka menganggap bahwa semua ancaman Allah dalam
al-Qur’an terhadap para pendosa yang bermaksiat, pasti akan ditepati dan
ditimpakan kepada pelakunya.
Seperti ancaman Allah bagi orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja dalam ayat-Nya:
Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya. Allah murka kepadanya dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisaa’: 93)
Menurut anggapan mereka, seorang mukmin yang membunuh seorang mukmin
lainnya pasti akan kekal di dalam Jahannam. Mereka mengkaitkannya dengan
hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya merupakan kekafiran. (HR. Bukhari Muslim)
Demikian pula, ancaman Allah bagi orang yang bermaksiat secara umum seperti dalam ayat-Nya:
… Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya
baginya neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
(al-Jin: 23)
Mereka menganggap telah kafirnya para pelaku maksiat dan dosa-dosa
besar, karena mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam kekal
selama-lamanya sebagaimana dalam ayat di atas. Kemudian dikaitkan pula
dengan ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
Tidaklah
berzina seorang pezina ketika berzina dalam keadaan mukmin, tidaklah
minum khamr ketika meminumnya dalam keadaan mukmin dan tidak mencuri
seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin. (HR. Bukhari
Muslim)
Mereka menganggap bahwa dalam hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam menafikan keimanan bagi para pelaku maksiat, yang menunjukkan
bahwa mereka adalah orang-orang kafir.
Inilah inti penyimpangan mereka, yaitu:
1. Mereka menganggap sama antara ancaman Allah dan janji-Nya.
2. Tidak membedakan kufur akbar dan kufur ashghar.
Kita jawab syubhat mereka ini dari beberapa sisi:
Pertama, para salafus shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in,
tabiit-tabi’in berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara ancaman dan
janji Allah. Jika hal itu merupakan janji, Pasti akan Allah tepati dan
tidak mungkin Allah selisihi. Karena menyelisihi janji merupakan sifat
yang jelek dan Allah maha suci dari sifat seperti itu. Berbeda halnya
dengan ancaman yang Allah ancamkan kepada orang-orang yang bermaksiat,
mungkin saja Allah memaafkan dan mengampuninya. Hal itu merupakan sifat
yang mulia bagi Allah, yaitu sifat maghfirah (mengampuni), rahmah
(menyayangi), al-afuw (memaafkan), dan lain-lain.
Ahlus sunnah wal jama’ah sejak zaman salaf sampai hari ini berkeyakinan
bahwa ancaman Allah bisa saja diterapkan, bisa pula tidak. Dengan kata
lain tahtal masyi’ah (di bawah kehendak Allah). Jika Allah kehendaki
Allah akan mengadzabnya, dan jika dikehendaki oleh-Nya, Ia akan
mengampuninya. Dalilnya adalah ucapan Allah:
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang
siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar. (an-Nisaa’: 48)
Dalam ayat di atas Allah menyatakan “dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik), bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” menunjukkan
bahwa ancaman Allah bisa saja tidak Allah laksanakan kepada pelaku dosa,
karena Allah telah memaafkan dan mengampuninya.
Kedua, bahwa menurut aqidah ahlus sunnah wal jama’ah yang disepakati
secara ijma’ adalah bahwa kekafiran itu bertingkat-tingkat. Ada kufur
yang mengeluarkan dari Islam yaitu kufur akbar, ada pula kufur yang
tidak mengeluarkan dari Islam yaitu kufur ashgar. Atau dengan istilah
lain kufur i’tiqadi (dalam keyakinan) dan kufur amali (dalam amalan).
Terkadang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa
dosa sebagai kekafiran, seperti hadits di atas: “Memerangi muslim adalah
kekafiran” atau hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
Jangan kalian kembali kepada kekafiran, sebagian membunuh sebagian yang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah kufur
amali, yaitu kekufuran kecil yang tidak mengeluarkan dari Islam.
Dalil-dalil yang membuktikan hal ini sangat banyak, di antaranya ayat
Allah:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kalian dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih. (al-Baqarah: 178)
Dari ayat ini kita mendapatkan beberapa faedah:
1. Seorang muslim yang membunuh muslim lainnya disebut dalam ayat ini
sebagai “saudara” bagi keluarga terbunuh. Hal ini tentunya menunjukkan
persaudaraan keimanan yang berarti dia tidak keluar dari keislaman.
2. Allah sebutkan dalam ayat ini “keringanan” bagi orang yang membunuh
tadi setelah diberi maaf oleh keluarganya, yang menunjukkan kalau orang
tersebut tidak kafir yang mengeluarkan dari Islam. Karena tidak ada
keringanan bagi orang kafir yang murtad dan keluar dari Islam.
3. Disebutkan pula dalam ayat ini “rahmat”, yang tentunya terkandung di
dalamnya ampunan. Ini pun menunjukkan bahwa orang tadi tidak kafir,
sehingga masih mungkin mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah.
Bukti lainnya adalah ucapan Allah:
Dan kalau
ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kalian
damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kalian
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kalian
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Al-Hujuraat:
9-10)
Dalam ayat ini kita dapatkan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa orang
yang memerangi atau membunuh seorang muslim tidak kafir keluar dari
Islam, di antaranya:
1. Allah menyebutkan dalam ayat ini dua kelompok yang saling berperang adalah orang-orang mukmin.
2. Allah juluki mereka dengan “saudara” yang tentunya yang dimaksud adalah saudara sesama muslim.
3. Allah perintahkan kepada kelompok penengah untuk mendamaikan keduanya
dengan kalimat “Damaikanlah antara saudara-saudara kalian”, yang
tentunya menunjukkan mereka masih muslimin.
4. Allah memerintahkan kepada kelompok penengah untuk memerangi orang
yang tidak mau berdamai (kelompok bughot) sampai kembali kepada perintah
Allah. Dan sudah diketahui secara umum bahwa memerangi para bughot
adalah hingga mereka mau kembali dan taat kepada penguasanya. Wanita
mereka tidak dijadikan tawanan, harta mereka tidak dianggap sebagai
pampasan perang, tidak dikejar orang yang lari, tidak dibunuh orang yang
luka dan seterusnya. Ini sangat berbeda dengan memerangi orang-orang
yang kafir.
5. Disebutkan dalam ayat ini tujuan memerangi para bughot adalah agar
mereka mau kembali berdamai dan tunduk kepada penguasa muslim. Berbeda
sekali dengan tujuan memerangi orang-orang kafir agar mereka masuk Islam
atau tunduk di bawah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah.
Ketiga, bahwa penafian keimanan yang disebutkan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam dalam hadits pezina di atas tidak menunjukkan kafirnya
pelaku zina tersebut. Demikian pula peminum khamr dan pencuri. Tidak ada
satu pun para ulama sejak para shahabat sampai hari ini yang menyatakan
kafirnya mereka.
Kalau mereka dianggap kafir dengan kufur akbar yang mengeluarkan dari
Islam, tentunya tidak dihukumi dengan hukum-hukum had, seperti dicambuk,
dipotong tangannya dan lain-lain. Sudah diketahui secara ijma’ bahwa
hukum bagi seorang murtad adalah dibunuh.
Perhatikan ucapan Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu ketika membantah
khawarij yang mengkafirkan seorang muslim dengan kemaksiatan sebagai
berikut: “Kami telah mendapati bahwa Allah telah mendustakan ucapan
mereka. Yaitu ketika Allah menghukumi seorang pencuri dengan dipotong
tangannya, seorang pezina dan penuduh zina dengan cambuk. Kalau saja
dosa itu mengkafirkan pelakunya, tentu hukumnya atas mereka tidak lain
kecuali dibunuh. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia!. (HR. Bukhari).
Ketika dua
kelompok yang bertikai dalam perang shiffin sepakat memilih dua penengah
yaitu Abu Musa al ‘Asyari radhiallahu ‘anhu dan ‘Amr bin Ash
radhiallahu ‘anhu, kaum khawarij keluar dan berlepas diri dari dua
kelompok tersebut. Mereka mengangkat mushaf di ujung-ujung pedang mereka
seraya berkata :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ
Tidak ada hukum kecuali milik Allah. (al-An’aam: 57)
Melihat keadaan ini, berkatalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu :
كَلِمَةُ حَقٍّ أَرَادُ بِهَا الْبَاطِلَ
Kalimat
yang hak, tapi yang mereka maukan adalah kebathilan. (Lihat as-Syariah
oleh Al-Ajurri). Inilah syubhat berikutnya dari kaum khawarij, yaitu
menganggap bahwa mengangkat seseorang sebagai hakim untuk menengahi
suatu pertikaian termasuk berhukum kepada selain Allah. Akhirnya mereka
mengkafirkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Muawiyah bin Abi
Sufyan radhiallahu ‘anhu, Abu Musa Al ‘Asyari, Amr bin Ash dan seluruh
para sahabat yang ikut dalam dua pasukan tersebut. Demikian pula
terhadap seluruh kaum muslimin yang ridha pada dua hakim penengah yang
telah ditunjuk. Dalil yang mereka jadikan sandaran adalah ayat Allah subhanahu wata’ala: وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maidah: 44)
Kemudian
merekapun menghalalkan darah para shahabat dan menggerakan masa untuk
menentang dan memberontak kepada mereka dengan alasan demi keadilan,
amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan seterusnya. Seperti yang pernah
mereka lakukan pada Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu sebelumnya.
Ayat ini pula yang dipakai KGB (khawarij gaya baru) seperti NII dan
Pecahannya, JI dan seluruh kelompoknya, Ikhwanul Muslimin (IM) dan
seluruh sempalannya, serta semua kelompok yang menganut quthbisme
seperti Muhammad surur, dan masy’ari yang merencanakan peledakan di
Riyadh, dan lain-lain dalam mengkafirkan penguasa-penguasa muslimin dan
menghalalkan darah mereka.
Tidak hanya sampai di sini, bahkan mereka membela para pendahulu mereka
dari kalangan khawarij yang membunuh Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Seperti ucapan Sayyid Qutb berikut :”… tetapi barang siapa yang melihat
dengan kacamata Islam dan menilai kejadian dengan ruhul Islam tentu
akan menganggap bahwa pemberontakan tersebut secara umum lebih dekat
kepada ruhul Islam dan arahnya daripada sikap Utsman bin Affan atau
lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari
kalangan Bani Umayyah. (lihat Keadilan Sosial Dalam Islam, cet.5).
Syubhat mereka ini telah terbantah dengan ucapan pada edisi yang lalu,
yaitu bahwa kekufuran ada dua macam: kufur amali dan kufur i’tiqadi.
Oleh karena itu perlu dilihat dengan teliti tafsir ayat di atas menurut
para shahabat dan para Ulama setelahnya. Agar jangan kita menyimpang
dari jalan mereka dan melenceng dari apa yang dimaukan oleh Allah dengan
ayat tersebut.
Syaikh
al-Albani dalam kitabnya Fitnatut Takfir wal Hakimiyah, hal. 31.
menukilkan ucapan Ibnu Abbas: “Yang dimaksud kafir pada ayat ini adalah
kufrun duna kufrin (kafir yang tidak mengeluarkan dari Islam)”.
Dalam riwayat lain disebutkan ketika seseorang menyampaikan ayat ini
kepada Ibnu Abbas, beliau menyatakan: “Jika dia melakukan demikian, maka
dia telah berbuat kekufuran, tetapi bukan seperti kafir kepada Allah
dan hari akhir”. (Riwayat ath-Thabari, juz 6, hal. 256)
Dalam riwayat lain, beliau menyatakan: “Itu adalah kekufuran, tapi bukan
kekufuran kepada Allah dan malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
rasul-rasul-Nya”.
Thawus bin kisan seorang tabiin juga mengatakan hal yang sama seperti
ucapan Ibnu Abbas di atas. (lihat Tafsir Ibnu Katsier, juz 2/80)
Atha bin Abi Rabah berkata:”Itu adalah kufrun duna kufrin, dzulmun duna
dzulmin dan fisqun duna fisqin.” (lihat Tafsir Ibnu Katsier, juz 2/80)
Yang maksudnya juga sama, yaitu kekafiran, kedhaliman dan kefasikan yang tidak mengeluarkan dari agama.
Ibnul Jauzi dalam kitabnya Zaadul Maasir Fi ‘Ilmit Tafsir berkata: ”Yang
dimaksud dengan kekafiran dalam ayat tersebut ada dua pendapat. Pertama
kufur kepada Allah dan yang kedua kufur kepada hukum tersebut yang
tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Kesimpulannya, adalah bahwa
seorang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan dengan
menentangnya dalam keadaan dia tahu Allah subhanahu wata’ala telah
menurunkannya seperti apa yang dilakukan oleh Yahudi, maka dia kafir.
Adapun orang yang berhukum tidak dengan hukum Allah karena kecenderungan
hawa nafsu dengan tidak menentangnya maka dia adalah dhalim atau fasik.
Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzir berkata:”Berkata para Ulama
bahwa yang demikian adalah jika menolak nash-nash hukum Allah dengan
terang-terangan dan sengaja. Adapun jika karena tersamar baginya atau
keliru atau dengan takwilan-takwilan (alasan-alasan yang di-buat-buat)
maka tidak kafir. (hal. 241)
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya Al-Jami’ Li Ahkamil Quran berkata : ”….
Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa
besar. Di sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran
dan menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir.
Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum
dalam hal ini. Berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan: ”Ayat ini umum mencakup
setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu
wata’ala turunkan apakah dari kalangan muslimin , Yahudi ataupun
orang-orang kafir”. Yakni jika menentang dengan keyakinannya dan
menghalalkannya. Adapun jika dia melakukannya dengan tetap meyakini
bahwa dia telah melanggar keharaman maka dia adalah orang-orang fasik
dari kalangan muslimin. Urusannya diserahkan kepada Allah, kalau Allah
kehendaki Allah ampuni dia dan kalau Allah kehendaki Allah hukum dia.
Dalam satu riwayat Ibnu Abbas mengatakan: ”Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka dia telah melakukan
perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang kafir”. (Juz VI, hal.
190)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata: ”Seseorang,
kapan dia menghalalkan yang haram yang telah disepakati keharamannya
secara ijma’, atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati
kehalalannya secara ijma’, atau mengganti syariat yang sudah disepakati
secara ijma’ maka dia kafir murtad dengan kesepakatan para ahli fiqih.
Untuk yang sejenis inilah Allah subhanahu wata’ala turunkan ucapannya
–menurut salah satu pendapat-:
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maidah: 44)
Yakni orang-orang yang menganggap halal berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan”.
Kemudian beliau berkata: ”Dan tidak ragu lagi bahwa orang yang tidak
meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan kepada
rasulnya maka dia kafir”. (juz III/267-268; lihat pula Minhajus Sunnah,
juz III/32)
Ibnu Qayyim Al-Jauziah dalam kitabnya Madarikus shalikin berkata: ”ada
pun kekufuran itu ada dua macam yaitu kufur akbar dan kufur asghar.
Kufur akbar adalah yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka,
sedangkan kufur as-ghar adalah yang tidak mengekalkan dalam neraka”.
(Juz I/335)
Kemudian beliau berkata tentang ayat di atas bahwa di antara para ulama ada yang menafsirkan dengan berbagai macam tafsiran:
- Bahwa ayat ini adalah mengenai orang yang meninggalkan hukum dengan
apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan dengan menentangnya
terang-terangan (juhud), seperti ucapan Ikrimah.
- Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut mengenai
orang yang meninggalkan hukum dengan apa yang Allah turunkan secara
keseluruhan, termasuk didalamnya berhukum dengan tauhid dan keislaman.
Ini merupakan pendapatnya Abdul Azis Al-kinani.
- Di antara mereka ada yang menafsirannya bahwa ayat tersebut tentang
orang yang berhukum dengan sesuatu yang menyeisihi nash dengan sengaja
bukan karena kebodohan, kesalahan atau takwil, ini adalah pendapat
Al-Baghawai dengan menukil ucapan para ulama secara umum.
- Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut khusus bagi
ahlul kitab. Demikian pendapat Qatadah, Dhahak dan lain-lain.
Kemudian Ibnul Qayyim berkata: ”Yang benar adalah bahwa berhukum degan
selain yang Allah subhanahu wata’ala turunkan bisa menyebabkan dua jenis
kekufuran, kufur asghar atau kufur akbar sesuai dengan keadaan si
pelaku. Jika dia masih tetap meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang
Allah turunkan tetapi dia menyelisihinya dengan bermaksiat dalam keadaan
tetap mengakuinya, maka dia pantas mendapat adzab namun ini adalah
kufur kecil.
Adapun jika dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah itu adalah
tidak wajib, dia bebas memilih padahal dia yakin itu adalah hukum Allah
subhanahu wata’ala maka dia adalah kafir dengan kufur akbar. Sedangkan
orang yang bodoh atau keliru maka dia adalah orang yang salah dan
dihukumi sebagaimana hukumnya orang-orang yang keliru”.
Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi dalam Syarh Aqidah ath-Thahawiyah mengatakan:
“Di sini ada perkara yang harus kita pahami dengan benar. Yaitu bahwa
berhukum dengan selain apa yang Allah turun-kan bisa menyebabkan
seseorang menjadi kafir yang mengeluarkan dari agama, bisa jadi pula
merupakan kemaksiatan besar (dosa besar), atau bisa pula dosa kecil.
Dikatakan sebagai kekufuran, bisa jadi karena makna kiyas*), bisa jadi
kufur kecil sesuai dengan dua pendapat yang tersebut dalam masalah ini.
Yang demikian sesuai dengan keadaan si pelaku. Jika dia meyakini bahwa
berhukum dengan apa yang Allah turunkan adalah tidak wajib, setiap orang
bebas memilih, atau melecehkannya dalam keadaan tahu bahwa itu adalah
hukum Allah, maka itu adalah kekufuran yang besar. Namun, jika dia tetap
meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan dan ilmunya
tentang hal tersebut ada, tetapi dia meninggalkannya dalam keadaan
mengakui bahwa perbuatan itu perbuatan yang layak mendapatkan balasan,
maka ia adalah orang yang bermaksiat. Dinamakan kafir dengan makna kiyas
atau kufur kecil. Adapun jika dia tidak mengerti tentang hukum Allah
dalam keadaan telah berusaha dan mengeluarkan segenap ke mampuannya
untuk mengenali hukum tersebut namun dia keliru, maka dia adalah seorang
yang keliru yang mendapatkan pahala atas usahanya dan kesalahannya
diampuni.” (hal. 323 & 324)
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dalam Syarh Tsalatsatul Ushul berkata: “Adapun tentang ucapan Allah:
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka orang-orang fasik.
Apakah tiga sifat ini Allah turunkan untuk mensifati satu golongan?.
Dengan makna bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang
Allah turunkan, maka dia kafir, dhalim dan fasik sekaligus. Karena Allah
mensifati orang-orang kafir juga dengan kedhaliman dan kefasikan
seperti dalam firmanya:
وَالْكَافِرُوْنَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Dan orang-orang kafir itu adalah orang-orang dhalim.
Sesungguhnya mereka orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.
Ataukah sifat-sifat ini turun untuk mensifati beberapa golongan sesuai
dengan faktor pendorong mereka tidak berhukum dengan apa yang Allah
turunkan? Yang lebih dekat menurut saya adalah yang kedua ini. Wallahu
a’lam”. (hal. 157)
Yang dimaksud dengan ucapan syaikh ini adalah bahwa orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah belum tentu kafir, bisa jadi kafir, bisa
jadi dhalim atau bisa jadi pula dia fasik yang berarti tidak kafir.
Wallahu a’lam.
Ustad Muhammad As Sewwed
footnote:
*) pendapat yang benar adalah tidak adanya makna kias dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah lihat Shawa’iqul Mursalah oleh Ibnul Qayyim. Pent.