Shalat Tarawih
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dariتَرْوِيْحَةٌ
yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Dan
تَرْوِيْحَةٌ
pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)
Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294). Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).
Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:
1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)
• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)
2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)
3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat lainnya radiyallahu ‘anhum ‘ajma’in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).
4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)
Dalil pendapat kedua:
Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:
• Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi n. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.
Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.
Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)
Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih
Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً …
“Tidaklah (Rasulullah n) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi wasallam di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah n, maka sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)
2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar z, dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radiyallahu ‘anhu”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)
Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)
Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wassallam).
Wallahu a’lam
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Shalat Tarawih. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301)
SHALAT TARAWIH (I)
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ * آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ * كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ * وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ * وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ *
Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (tidak meminta). (Adz-Dzariyat : 15 – 19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا *
Hamba-hamba Ar-Rahman itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri (yakni shalat) untuk Rabb mereka. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” (Al-Furqan : 63-66)
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ * فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ *
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam). Mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (As-Sajdah : 16-17)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل
Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat lail. HR. Muslim
Bulan Ramadhan saatnya untuk meningkat kuantitas dan kualitas ibadah kita, dalam rangka kita meraih derajat yang tinggi dalam iman dan taqwa. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam banyak memberikan motivasi dan hasungan untuk beramal shalih dan memperbanyaknya pada bulan ini.
Di antara yang dihasung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dihidupkan pada malam-malam bulan Ramadhan adalah Qiyamu Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من قام رضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang menegakkan ibadah pada malam Ramadhan atas dasar iman dan harapan, maka diampuni baginya apa yang telah lewat dari dosanya.” Muttafaqun ‘alaihi
Atas dasar iman, yakni iman kepada Allah dan iman kepada pahala yang telah Allah sediakan bagi orang-orang yang menegakkannya.
Atas dasar harapan, yakni mengharap pahala dari Allah. Yang mendorong dia melaksanakan ibadah tersebut bukanlah riya’ atau pun sum’ah, bukan pula karena ingin mendapat harta, kedudukan, ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Namun semata-mata karena mengharap balasan dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Dari shahabat ‘Amr bin Murrah Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu berkata : “Seorang pria datang keapda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka dia berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku bersyahadat Lailaaha illallah (tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah) dan bahwa engkau adalah Rasulullah, aku menegakkan shalat lima waktu, dan aku membayar zakat, dan aku melaksanakan puasa Ramadhan serta menegakkan ibadah malam harinya, maka aku akan termasuk golongan yang mana?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Engkau akan termasuk golongan para shiddiqin dan para syuhada’.”
(HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 989.)
Qiyamu Ramadhan adalah Shalat Malam pada bulan Ramadhan, yang kemudian lebih terkenal dengan istilah Shalat Tarawih.
Disyari’atkan Berjama’ah Dalam Pelaksanaannya
Pelaksanaan shalat Tarawih disyari’atkan secara berjama’ah, bahkan itu lebih utama daripada shalat sendirian. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
“Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak shalat malam apapun bersama kami selama bulan tersebut. Hingga ketika tersisa 7 hari terakhir (yakni ke-23), beliau shalat malam bersama kami (yakni shalat tarawih) hingga sepertiga malam terakhir. Kemudian pada hari ke-6 (sebelum terakhir, yakni malam ke-24) beliau shalat malam bersama kami. Kemudian pada hari ke-5 (sebelum terakhir, yakni malam ke-25) beliau shalat malam bersama bersama kami hingga separoh malam. Maka aku (Abu Dzarr) berkata : “Wahai Rasulullah, kalau seandainya engkau menambah untuk kami shalat pada malam hari ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
إن الرجل إذا صلى مع الإمام حتى ينصرف حسب له قيام ليلة
Sesungguhnya seseorang apabila dia shalat tarawih bersama imam (yakni berjama’ah) hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam penuh.
Kemudian pada hari ke-4 (yakni malam ke-26) beliau tidak shalat (bersama kami). Kemudian ketika hari ke-3 (yakni malam ke-27) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan keluarga, istri-istri, dan para shahabatnya, maka beliaupun shalat malam bersama kami, sampai-sampai kami khawatir akan terlewatkan al-falah.
Aku (salah seorang perawi) bertanya (kepada Abu Dzarr) : “Apa maksudnya al-falah“
Abu Dzarr menjawab : “Sahur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi shalat bersama kami pada malam berikutnya. (yakni malam ke-28 dan ke-29)”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 447, dan dalam Shalatut Tarawih hal. 16-17).
Al-Mubarkfuri rahimahullah mengatakan : Dalam hadits ini menunjukkan pastinya pensyari’atan shalat tarawih secara berjama’ah di masjid. (Tuhfatul Ahwadzi III/437)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan : ” … hadits ini sangat jelas menunjukkan keutamaan shalat qiyam Ramadhan (Tarawih) bersama imam (yakni secara berjama’ah) …”
Dalam salah satu fatwanya, Al-Lajnah Ad-Da`imah juga menegaskan : ” … namun shalat tarawih bersama imam di masjid lebih utama, karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya … ” (fatwa no. 7617. ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud).
Sebab Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Melaksanakan Tarawih Berjama’ah Secara Terus Menerus
Pada malam-malam lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan tarawih secara berjama’ah semata-mata adalah karena beliau khawatir shalat malam pada bulan Ramadhan menjadi diwajibkan atas umatnya sehingga mereka tidak mampu mengerjakannya.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada salah satu malam (Ramadhan) melakukan shalat (Tarawih) di masjid. Maka para shahabat pun shalat bersama beliau (berjama’ah). Kemudian esok malamnya beliau juga shalat (di masjid), maka para shahabat makin banyak yang ikut. Kemudian pada malam ke-3 makin banyak lagi yang berkumpul menunggu beliau, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar kepada mereka. Ketika tiba waktu shubuh beliau berkata : “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian kecuali karena aku takut shalat malam tersebut diwajibkan atas kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun kekhawatiran tersebut telah hilang dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan agama ini. Dengan meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tetaplah kondisi bahwa syari’at tidak mewajibkan shalat Tarawih, namun tetaplah pensyari’atan shalat Tarawih sebagai sunnah yang dianjurkan untuk berjama’ah dalam mengerjakannya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta` menegaskan dalam salah satu fatwanya : “Shalat Tarawih pada bulan Ramadhan bersama satu orang imam (yakni berjam’ah) merupakan sunnah yang telah dituntunkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam … dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa shalat Tarawih dulu dikerjakan secara berjama’ah pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian masa Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan praktek kaum muslimin terus berlangsung demikian hingga hari ini.”
(lihat fatwa no. 4167. ditandatangani oleh : Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud).
Seseorang bertanya kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan :
Beberapa hari lalu ada seseorang berdiri di masjid seraya berkata : ‘Sesungguhnya shalat Tarawih dalam bentuk berjama’ah seperti ini tidak ada dasarnya. Seseorang shalat di rumahnya itu lebih utama.’
Apa hukum ucapan tersebut?
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab :
Shalat Tarawih berjama’ah di masjid adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para khulafa`ur rasyidin, serta para shahabat beliau yang mulia. Di atas cara ini pulalah praktek amaliah kaum muslimin dulu dan sekarang. Tarawih berjama’ah lebih utama daripada shalat di rumah. Karena shalat tathawwu’ (nafilah) yang disyari’atkan berjama’ah dalam pelaksanaannya, seperti shalat Tarawih dan shalat Kusuf (Gerhana) lebih utama dilaksanakan di masjid dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dalam rangka menampakkan sunnah ini. Barangsiapa yang mengingkarinya maka dia telah salah dalam pengingkarannya tersebut. Dia wajib untuk dinasehati dan dijelaskan kesalahannya, serta wajib atasnya untuk belajar terlebih dahulu sebelum berbicara.” (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan no. 206)
Jangan Terlewatkan dari Shalat Tarawih Berjama’ah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan dorongan untuk mengerjakan shalat Tarawih secara berjama’ah, dalam sabdanya :
« من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة »
Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam (yakni berjama’ah) hingga selesai, maka ditulis baginya pahala shalat semalam penuh. HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
Maka jangan sampai terlewatkan dari shalat Tarawih secara berjama’ah di masjid. Suatu hal yang sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin ketika mereka shalat Tarawih berjama’ah di masjid, mereka keluar sebelum shalat berjama’ah selesai dengan alasan mereka akan mengerjakan shalat witir pada akhir malam. Sungguh perbuatan ini membuat mereka terluput dari keutamaan yang sangat besar sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Hal di atas telah sering menjadi bahan pertanyaan, bahkan ditanyakan kepada para ‘ulama besar.
Di antaranya :
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah mengatakan, ‘Saya mendengar Al-Imam Ahmad ditanya, “Mana yang lebih engkau suka seseorang shalat (Tarawih) berjama’ah dalam bulan Ramadhan, ataukah dia shalat sendiri?”
Maka beliau (Al-Imam Ahmad) menjawab : “Aku lebih suka dia shalat berjama’ah“
Al-Imam Ahmad juga berkata : “Aku lebih suka seseorang shalat (Tarawih) berjama’ah bersama imam dan shalat witir juga berjama’ah bersama imam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam (yakni berjama’ah) hingga selesai, maka ditulis baginya pahala shalat semalam penuh.”
Kemudian Al-Imam Abu Dawud berkata, ‘Ada yang bertanya kepada Al-Imam Ahmad dan aku mendengarnya, “Apakah seseorang mengakhirkan shalat Tarawih hingga akhir malam?” Maka Al-Imam Ahmad menjawab : “Tidak, sunnah kaum muslimin (yakni Tarawih berjama’ah) lebih aku suka.” (lihat Al-Masa`il hal. 62)
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah :
“Witir Tarawih pada akhir Ramadhan. Apakah aku melakukan shalat witir dahulu kemudian tidur, ataukah aku mengakhirkan witir bersama shalat Tarawih pada akhir malam. Sementara aku biasa tidur antara shalat tarawih dan akhir malam?”
Jawab :
Apabila engkau shalat Tarawih berjama’ah bersama imam, maka yang afdhal (lebih utama) adalah engkau sekalian shalat witir juga berjama’ah bersamanya, agar engkau memperoleh pahala yang sempurna. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
« من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة »
Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam (yakni berjama’ah) hingga selesai, maka ditulis baginya pahala shalat semalam penuh. HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
Bila engkau bangun pada akhir malam dan engkau ingin mengerjakan shalat, maka engkau bisa shalat semampumu tanpa berwitir, karena tidak ada dua witir pada satu malam yang sama. Namun jika engkau tidak berwitir pada awal malam, atau engkau genapkan witir awal malam tersebut dengan cara engkau tambah satu raka’at, sehingga dengan begitu engkau bisa berwitir pada akhir malam, maka tidak mengapa.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh, Bakr Abu Zaid.
* * *
Pertanyaan :
“Apakah aku harus berangkat ke masjid ataukah aku cukup shalat di rumah. Sementara aku bukanlah seorang imam, namun makmum. Aku senang jika aku membaca Al-Qur`an sendiri. Aku lebih senang membaca sendiri daripada sekedar mendengarkan. Apabila aku shalat sendiri apakah aku berdosa? Yang saya maksud adalah shalat Tarawih saja.”
Jawab :
Tidak mengapa mengerjakan shalat Tarawih di rumah, karena shalat tersebut adalah shalat nafilah. Namun mengerjakan shalat Tarawih berjama’ah bersama imam di masjid lebih utama. Dalam rangka meniru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para shahabatnya, ketika beberapa malam beliau shalat Tarawih mengimami mereka pada hingga sepertiga malam, sebagian shahabat pun berkata kepada beliau, ‘Kalau seandainya engkau tambah shalat pada sisa malam kita ini’. Dalam kesempatan tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة »
Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam (yakni berjama’ah) hingga selesai, maka ditulis baginya pahala shalat semalam penuh. HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan dengan sanad yang hasan dari shahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu
Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Qu’ud
* * *
Pertanyaan :
Sesungguhnya aku alhamdulillah membiasakan diri untuk melaksanakan shalat Tarawih berjama’ah bersama imam. Aku punya kebiasaan shalat witir sebelum tidur, walaupun ketika safar. Maka aku shalat berjama’ah bersama imam dalam seluruh rakaat kecuali shalat witir, sengaja aku tinggalkan agar aku bisa mengerjakannya sebelum aku tidur. Mana yang lebih utama menuru salafush shalih, apakah aku menyempurnakan shalat Tarawih berjama’ah bersama imam termasuk shalat witir dan do’anya, ataukah aku berjama’ah shalat Tarawihnya saja kemudian aku shalat witir sendiri sebelum tidur?
Bila shalat berjama’ah (hingga selesai bersama imam) termasuk do’a lebih utama, bagaimana jika aku shalat lagi sebelum tidur, apakah genap atau ganjil raka’atnya, ataukah sudah tidak ada lagi kesempatan shalat setelah aku shalat witir juga berjama’ah bersama imam?
Jawab :
Yang lebih utama adalah engkau menyempurnakan shalat Tarawih dan Witir berjama’ah bersama imam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
« من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة »
Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam (yakni berjama’ah) hingga selesai, maka ditulis baginya pahala shalat semalam penuh. HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
Jika setelah itu engkau ingin shalat lagi pada malam itu, maka engkau boleh shalat sekehendakmu namun engkau jangan mengulang witir, namun engkau cukup dengan witir yang telah engkau kerjakan berjama’ah bersama imam.
Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, , Bakr Abu Zaid.
* * *
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah sendiri juga menegaskan :
“Yang lebih utama bagi orang yang shalat Tarawih berjama’ah bersama imam adalah jangan sampai ia mengakhiri shalatnya kecuali bersama imam (yakni sampai witir selesai). Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
« إن الرجل إذا قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة »
“Sesungguhnya seseorang jika shalat (Tarawih) bersama imam hingga selesai, maka Allah tulis baginya shalat semalam suntuk.”
(lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/20)
* * *
Saya shalat Tarawih berjama’ah bersama imam di masjid sampai selesai, sebagaimana telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ditulis seperti shalat semalam suntuk. Jika aku kemudian shalat lagi pada malam tersebut, yaitu pada sepertiga malam terakhir, apakah dengan perbuatanku tersebutvaku telah menyelisihi sunnah?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjawab :
Pertanyaan ini sangat teliti. Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Tarawih berjama’ah bersama para shahabatnya hingga selesai. Maka para shahabat berkata : “Wahai Rasulullah kalau seandainya engkau tambah lagi untuk waktu malam yang tersisa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam (yakni berjama’ah) hingga selesai, maka ditulis baginya pahala shalat semalam penuh. HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengarahkan mereka untuk shalat pada akhir malam. Ini menunjukkan bahwa yang lebih utama adalah seseorang mencukupkan shalatnya bersama imam. Pertanyaan sang penanya ini tepat untuk ini. Maka dijawab untuknya : Yang lebih utama adalah engkau mencukup dengan shalat (Tarawih) berjama’ah bersama imam hingga selesai. Karena barangsiapa yang shalat berjama’ah imam hingga selesai maka ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk.
Namun kalau dia kemudian bangun dan ingin shalat di akhir malam, maka tidak mengapa baginya insya allah. Dalam kondisi tersebut ia shalat dua rakaat dua rakaat hingga tiba waktu shubuh. (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb – Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin / Fatawa Ash-Shalah)
SHALAT TARAWIH (II)
SHALAT TARAWIH(Jumlah Rakaat, Perbedaan Pendapat tentangnya, dan Cara Menyikapinya)
Jumlah Raka’atnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Tarawih 11 raka’at. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah dari 11 raka’at hingga beliau berpisah dengan dunia. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah ditanya tentang shalat (Tarawih) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, maka beliau menjawab :
ما كان يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة، يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي ثلاثا
“Nabi tidak pernah lebih dari 11 raka’at baik di Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. Beliau shalat 4 rakaat, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi 4 raka’at, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat 3 raka’at.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun boleh shalat Tarawih kurang dari 11 raka’at, bahkan walaupun shalat Witir satu raka’at saja. Hal ini berdasarkan perbuatan dan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya : Berapa raka’at dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Witir? ‘Aisyah menjawab :
كان يوتر بأربع وثلاث، وست وثلاث، وعشر وثلاث، ولم يوتر بأنقص من سبع، ولا بأكثر من ثلاث عشرة
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Witir 4 dan 3 raka’at, 6 dan 3 raka’at, 10 dan 3 raka’at. Beliau tidak pernah shalat Witir kurang dari 7 raka’at, tidak pula lebih dari 13 raka’at.” (Ahmad dan Abu Dawud ).
Adapun ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الوتر حق، فمن شاء فليوتر بخمس، ومن شاء فليوتر بثلاث، ومن شاء فليوتر بواحدة
“Shalat Witir itu haq, barangsiapa yang mau silakan berwitir 5 raka’at, barangsiapa yang mau silakan berwitir 3 raka’at, dan barangsiapa yang mau silakan berwitir dengan 1 raka’at.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tidak Pernah Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at
Tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa beliau pernah shalat Tarawih lebih dari 11 rakaat.
Penjelasannya sebagai berikut :
1 – Telah disebutkan di atas, hadits dari shahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, maka ‘Aisyah menjawab : “Nabi tidak pernah lebih dari 11 raka’at baik pada Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. … .”
2 – dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami kami pada bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at dan shalat witir. … .” HR. Ibnu Nashr dan Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghir, dengan sanad hasan.
3 – Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma : “bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu shalat (Tarawih) pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat ditambah witir.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari : “Sanad hadits ini lemah. Berlawanan dengan hadits hadits ‘Aisyah yang terdapat dalam Ash-Shahihain, di samping dia (‘Aisyah) adalah orang yang lebih tahu tentang kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam dibanding selainnya.”
Sebab lemahnya hadits tersebut adalah karena pada sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman. Dia adalah seorang perawi yang matrukul hadits (ditinggalkan periwatan haditsnya).
As-Suyuthi rahimahullah berkata : Kesimpulannya bahwa riwayat yang menyebutkan 20 rakaat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sah. … di antara yang menunjukkan akan hal itu (yakni Nabi tidak pernah menambah dari 11 rakaat) adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan suatu amalan, maka beliau akan senantiasa menetapinya … “
Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : bahwa keluarga Muhammad apabila mengamalkan suatu amalan, maka mereka senantiasa menetapinya.” HR. Muslim 782.
Tidak ada satu riwayatpun yang sah dari seorang pun dari keluarga Muhammad bahwa mereka shalat Tarawih sebanyak 20 raka’at.
4 – Pada kenyataannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapi jumlah rakaat tertentu dalam shalat-shalat sunnah rawatib dan lainnya, seperti shalat Istisqa’, shalat Kusuf, … . Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dalil yang diterima oleh para ‘ulama bahwa tidak boleh menambah bilangan rakaat tersebut. Demikian juga halnya dengan shalat Tarawih. Barangsiapa yang menyatakan ada perbedaan antara dua hal tersebut, maka dia harus mendatangkan dalil.
Shalat Tarawih bukanlah termasuk shalat nafilah yang bersifat muthlak sehingga boleh memilih untuk mengerjakannya dengan jumlah rakaat yang dikehendaki. Justru shalat Tarawih merupakan shalat sunnah mu`akkad yang ada kesamaan dengan shalat fardhu dari sisi disyari’atkan berjama’ah dalam pelaksanaannya, sebagaimana dikatakan oleh para ‘ulama syafi’iyyah. Maka dari sisi ini, shalat Tarawih lebih utama untuk tidak boleh ditambah bilangan rakaatnya dibanding dengan shalat sunnah rawatib.
Inilah pendapat yang dipilih dan dikuatkan oleh muhaddits besar abad ini, Al-‘Allamah Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam dua risalahnya Shalatut Tarawih dan Qiyamu Ramadhan. Secara ilmiah dengan pembahasan haditsiyyah beliau membawakan hujjah dan argumentasinya dalam dua risalah kecil tersebut, yang sangat memuaskan bagi setiap orang yang mau menelaahnya dengan seksama.
* * *
Kendati demikian, jumhur (mayoritas) ‘ulama menyatakan bahwa bahwa shalat Tarawih adalah 23 rakaat dan boleh lebih. Adapun perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan 11 rakaat bukan berarti pembatasan.
Karena khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat Tarawih secara berjama’ah dengan 23 rakaat. Atas dasar inilah para ‘ulama mengambil pendapat bahwa Tarawih adalah 23 rakaat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ats-Tsauri, dan Jumhur.
Ibnu ‘Abdil Barr berkata : Ini (23 rakaat) adalah pendapat jumhur ‘ulama, sekaligus itu merupakan pendapat terpilih menurut kami. Mereka menganggap apa yang terjadi pada masa ‘Umar seakan sebagai ijma’ (kesepakatan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya pelaksanaan qiyam Ramadhan itu sendiri tidak ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jumlah bilangan rakaat tertentu. Dulu beliau tidak lebih dari 13 rakaat namun beliau memanjangkan bacaannya. Tatkala khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyatukan mereka dengan Ubay bin Ka’b sebagai imam, maka Ubay mengimami mereka dengan 20 rakaat, kemudian witir 3 rakaat. Ketika itu dia (Ubay) meringankan bacaan sebanding dengan tambahan rakaat, karena cara demikian lebih ringan bagi para makmum daripada memanjang bacaan dalam satu rakaat.
Dengan demikian boleh baginya shalat Tarawih dengan 20 rakaat, sebagaimana itu telah masyhur (terkenal) pada madzhab Asy-Syafi’i dan Ahmad. Boleh baginya shalat dengan 36 rakaat, sebagaimana itu merupakan madzhab Malik. Boleh juga baginya untuk shalat Tarawih dengan 11 rakaat. Maka banyak sedikitnya jumlah rakaat sebanding terbalik dengan penjang pendeknya bacaan. Yang utama adalah sesuai dengan kondisi para makmum. Kalau di antara makmum tersebut ada yang mampu dengan 10 rakaat dan 3 rakaat setelahnya, maka ini lebih utama. Jika mereka tidak mampu, maka shalat dengan 20 rakaat, ini pun lebih utama.” (Majmu’ Fatawa XXII/272)
* * *
Pembahasan tentang permasalahan ini sangat panjang. Memang terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sendiri, antara pihak yang berpendapat tidak boleh lebih dari 11 rakaat, dan pihak yang berpendapat boleh lebih dari 11 rakaat. Sedangkan jumhur ‘ulama berpendapat shalat Tarawih boleh lebih dari 11 rakaat.
* * *
Menyikapi perbedaan pendapat di atas, suatu sikap arif dan bijak sekaligus nasehat dan bimbingan yang sangat bagus ditunjukkan oleh mufti kaum muslimin abad ini, Al-‘Allamah Al-Muhaddits Al-Walid Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau berkata :
ومن تأمل سنته صلى الله عليه وسلم علم أن الأفضل في هذا كله هو صلاة إحدى عشرة ركعة، أو ثلاث عشرة ركعة، في رمضان وغيره؛ لكون ذلك هو الموافق لفعل النبي صلى الله عليه وسلم في غالب أحواله، ولأنه أرفق بالمصلين وأقرب إلى الخشوع والطمأنينة ، ومن زاد فلا حرج ولا كراهية كما سبق.
“Barangsiapa yang memikirkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dia akan tahu bahwa yang afdhal (lebih utama) dalam ini semua adalah shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun yang lainnya. Yang demikian karena itu sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebanyakan kondisi beliau, dan karena itu lebih meringankan bagi para jama’ah, serta lebih dekat kepada khusyu’ dan thuma’ninah. Namun barangsiapa yang menambah lebih dari itu maka tidak ada mengapa dan tidak dibenci sebagaimana telah lewat penjelasan (dalil-dalilnya).” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/19).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah juga berkata :
“Adapun jumlah rakaatnya (yakni shalat Tarawih) adalah 11 atau 13 rakaat. Inilah bimbingan sunnah dalam pelaksanaan Tarawih. Namun kalau ada yang menambah jumlah rakaat tersebut, maka tidak mengapa. Karena telah diriwayatkan dalam hal itu dari para ‘ulama salaf banyak bilangan lebih maupun kurang (yakni dari 11 rakaat), namun yang satu tidak menginkari yang lain. Maka barangsiapa yang lebih dari 11 rakaat maka dia tidak diingkari. Barangsiapa yang mencukupkan dengan jumlah rakaat yang datang dari Nabi maka itu lebih utama.” (Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin XIV/125)
Arahan senada juga disampaikan oleh para ‘ulama yang duduk di Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’, di antaranya bisa dilihat pada fatwa no. 6148.
* * *
Perhatian :
1. Permasalahan penentuan bilangan rakaat shalat Tarawih adalah permasalahan ijtihadiyyah. Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama ahlus sunnah sendiri sejak dulu. Maka dalam permasalahan demikian, hendaknya kita menyikapinya dengan lapang dada dan penuh toleran. Jangan sampai satu sama lain saling bersikap keras apalagi sampai membid’ahkan. Walaupun pintu diskusi ilmiah senantiasa terbuka, namun dengan penuh lembut dan sikap hikmah. Bukan dengan kasar dan menjatuhkan.
Sikap inilah yang dicontohkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dalam kitabnya Shalat At-Tarawih, setelah beliau membawakan argumentasi ilmiah, dengan kupasan ilmu hadits yang sangat detail dan cermat, bahwa pendapat yang benar adalah hanya 11 rakaat saja, maka di akhir pembahasan beliau rahimahullah menegaskan :
“Apabila telah mengerti hal itu, maka jangan ada seorang mengira bahwa ketika kami memilih untuk mencukupkan dengan sunnah dalam jumlah rakaat shalat Tarawih dan tidak boleh melebihi/menambah jumlah tersebut bahwa berarti kami menganggap sesat atau membid’ahkan para ‘ulama yang tidak berpendapat demikian, baik dulu maupun sekarang. Sebagaimana telah ada sebagian orang yang berprasangka demikian dan menjadikannya sebagai alasan untuk mencela kami … .”
2. Berapa pun rakaat Tarawih yang kita kerjakan, hendaknya dalam pelaksanaannya memperhatikan masalah kekhusyu’an.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Namun hendaknya pelaksanaan rakaat-rakaat Tarawih tersebut hendaknya dilakukan dengan cara yang syar’i. Semestinya memanjangkan bacaan, ruku’, sujud, I’tidal, dan dalam duduk antara dua sujud. Berbeda dengan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada hari ini. Mereka mengerjakannya dengan sangat cepat, sehingga para makmum tidak bisa mengerjakan shalat dengan baik. … .”
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah juga mengingatkan :
“Banyak kaum muslimin mengerjakan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan namun tidak memahami (bacaannya) dan tidak thuma`ninah padanya, bahkan sangat cepat. Shalat tersebut dengan cara pelaksanaan demikian adalah batil. Pelakunya berdosa tidak mendapatkan pahala.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam risalahnya Shalat At-Tarawih juga mengingatkan permasalahan ini, dan membuat pembahasan khusus tentang hal ini, yaitu “Dorongan untuk mengerjakan shalat dengan sebaik-baiknya, dan peringatan dari mengerjakannya dengan tidak baik.”
http://www.assalafy.org/mahad/?p=358#more-358
Sumber : 1 2 3