Fenomena Wanita Karier
Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Allah l telah menciptakan seluruh
makhluk yang begitu banyak, kemudian menetapkan kewajiban bagi tiap-tiap
makhluk, yang tidak mungkin diwakili oleh satu sama lain.
Manusia merupakan bagian dari makhluk
tersebut. Allah menciptakannya untuk tujuan dan tugas yang paling mulia,
yaitu agar manusia beribadah kepada-Nya.
Allah k berfirman,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Sudah diketahui secara umum bahwa Allah l
membagi makhluk ciptaan-Nya menjadi dua jenis: laki-laki dan perempuan,
jantan dan betina. Setiap jenis mempunyai tugas dan pekerjaan yang
sesuai dengan kodrat, kemampuan, dan tabiatnya.
Maka dari itu, masing-masing mempunyai
bidang pekerjaan yang lebih khusus. Laki-laki berkewajiban memberikan
nafkah, mencari rezeki, dan bekerja untuk mendapatkannya, sedangkan
perempuan berkewajiban menjaga keluarga, mendidik anak, dan menjalankan
tugas-tugas rumah tangga.
Fenomena Wanita Bekerja
Saat ini, fenomena wanita bekerja bukan
hal yang aneh lagi bagi masyarakat kita. Wanita zaman sekarang bisa
melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh kaum pria. Dunia politik
pun tidak luput dari campur tangan wanita. Bahkan, rakyat Indonesia
pernah dipimpin oleh presiden wanita. Hal ini membuktikan bahwa wanita
diberi kesempatan yang besar untuk berkiprah di dunia kerja.
Adanya pergeseran paradigma tentang ibu
rumah tangga menjadi salah satu sebab terjadinya fenomena di atas.
Apalagi dengan bergulirnya era keterbukaan informasi saat ini, pemikiran
dari Barat begitu deras memasuki pikiran umat Islam.
Melalui majalah, buku, radio, televisi,
dan internet, semua informasi ini datang kepada siapa pun tanpa diminta.
Praktis tidak ada seorang pun yang dapat mengelak darinya, kecuali
orang yang mengasingkan diri dari kehidupan normal. Satu-satunya yang bisa dilakukan untuk menangkalnya adalah menyaringnya dengan pemahaman agama yang kuat dan benar.
Minimnya pengetahuan agama membuat
banyak wanita tidak lagi berpikir panjang dan mempertimbangkan banyak
hal untuk menerima tawaran pekerjaan di luar rumah atau keluar dari
rumah demi mencari pekerjaan. Bahkan, mayoritasnya sudah termakan oleh
propaganda kapitalis bahwa wanita yang bekerja akan merasakan
eksistensinya di tengah masyarakat, atau wanita yang bekerja berperan
besar membangun bangsa.
Pandangan Islam tentang Wanita Bekerja
Islam, agama kita yang mulia, telah
memberikan perhatian yang besar terhadap wanita. Allah k telah
menurunkan ayat-ayat yang berkenaan dengan wanita, yang terus dibaca
hingga hari kiamat. Bahkan, satu surat di dalam al-Qur’an dinamai dengan
an-Nisa (wanita).
Salah satu tugas wanita yang tidak boleh
diabaikan sepanjang hidupnya adalah tinggal dan berdiam diri di
rumahnya serta tidak melakukan tabarruj dan sufur (mempertontonkan perhiasan dan kecantikan kepada orang lain).
Allah k berfirman,
“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian, dan janganlah kalian berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Maksudnya, tetaplah kalian di
rumah-rumah kalian, tidak keluar tanpa ada keperluan. Di antara
keperluan syar’i yang membolehkannya keluar dari rumah ialah shalat di
masjid, itu pun terikat dengan beberapa ketentuan.
Terkait dengan tabarruj, al-Imam
Mujahid t berkata, “Dahulu para wanita keluar dari rumah mereka, lantas
berjalan di antara kerumunan kaum pria. Itulah tabarruj.” Adapun al-Imam Muqatil bin Hayyan t mengatakan, “Tabarruj
adalah seorang wanita mengenakan kerudung di kepalanya sekadar menempel
begitu saja, sehingga tampak bagian leher, kalung, bahkan
anting-antingnya, dan bagian-bagian lainnya.” (‘Umdatut Tafsir)
Wanita yang bekerja di luar rumah pada
masa sekarang umumnya sangat bersinggungan dengan masalah ini. Bahkan,
pada umumnya wanita bekerja akan keluar dari rumah dalam keadaan tabarruj dan sufur. Oleh karena itu, Islam memandang wanita yang bekerja dalam keadaan seperti ini sebagai bentuk kerusakan dan pelanggaran.
Berikut ini bentuk-bentuk kerusakan dan pelanggarannya:
1. Ia bermaksiat kepada Allah k sang Pencipta dan menodai masyarakatnya yang muslim.
2. Ia menyelisihi syariat dan agama yang lurus, serta menyelisihi sunnah Nabi yang suci.
3. Ia menganggap remeh dan menanggalkan adab-adab Islam yang mulia.
4. Ia melepaskan sifat malu dan iffah (kesucian diri), yang menjadi sifat Ummahatul Mukminin (para istri Nabi n) dan kaum mukminat secara umum.
5. Ia menanggalkan segala sesuatu yang dapat menutupi godaan dan auratnya.
6. Ia menyamakan diri dengan kaum pria dalam hal muamalah dan hak.
7. Sebagian mereka menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas pria.
8. Ia memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan pekerjaannya agar dapat menarik perhatian semua pihak.
9. Ia membuat dirinya terhina ketika terjun ke lapangan pekerjaan yang dijalani oleh kaum pria.
10. Suami tidak merasa puas dengan dirinya, sebaliknya dirinya juga tidak puas dengan keadaan suaminya.
Kami tidak mengatakan bahwa wanita
sama sekali tidak boleh keluar dari rumahnya untuk melakukan
pekerjaannya. Wanita muslimah justru dibolehkan untuk bekerja dan
mempunyai lapangan pekerjaan yang luas.
Pernyataan bahwa Islam melarang wanita
bekerja dan lapangan pekerjaannya sangatlah sempit adalah tindakan
diskriminatif terhadap Islam. Wanita boleh menjadi pegawai, sekretaris,
bahkan kepala di lembaga pendidikan khusus kaum wanita. Wanita juga
boleh menjadi dokter, perawat, atau profesi apa pun di rumah sakit
khusus wanita.
Adapun wanita yang keluar dari rumahnya untuk bekerja dalam keadaan tabarruj,
memakai wangi-wangian yang semerbak, dan berlenggak-lenggok seolah-olah
sedang menawarkan diri ketika melewati kerumunan pria, Islam
memandangnya telah melakukan pelanggaran, bahkan berzina.
Nabi n bersabda,
وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا-يَعْنِي زَانِيَةً
“Apabila seorang wanita memakai wangi-wangian, lantas (dengan sengaja) melewati kerumunan (pria), dia adalah ini dan itu, yakni pezina.” (HR. at-Tirmidzi. Beliau
berkata, “Hadits shahih.” Ada juga hadits dari Abu Hurairah yang
semisal dengan ini, diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya)
Di balik semua ini, Islam menghendaki
terjaganya keutuhan dan keselamatan keluarga muslimah. Sebab, dengan
keselamatannya, selamatlah seluruh masyarakat. Kesungguhan Islam dalam
menjaga hal ini sangat luar biasa, sampai-sampai dalam hal penunaian
ibadah yang dilakukan secara bersamaan oleh pria dan wanita di sebuah
tempat, seperti shalat id pun Islam telah mengaturnya.
Islam telah membuat aturan agar
perkumpulan untuk pelaksanaan ibadah ini berjalan dengan baik, agar pria
tidak berada di kerumunan wanita dan sebaliknya. Nabi n bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf shalat bagi pria
adalah yang paling depan, sedangkan shaf yang terjelek adalah yang
paling belakang. Sebaik-baik shaf shalat bagi wanita adalah yang paling
belakang, sedangkan shaf yang terjelek adalah yang paling depan.” (HR. Muslim) (Nizhamul Usrah fil Islam)
Wanita yang bekerja di luar rumah
sedikit banyak akan berinteraksi dengan pria. Bahkan, pada umumnya
campur baur tidak bisa dihindari, sejak dia keluar dari rumah, saat
berangkat, di tempat kerja, hingga perjalanan pulang.
Banyaknya wanita yang bekerja membuat
mereka berkeliaran di luar rumah dan bercampur baur dengan pria, baik di
kantor, pertokoan, pasar, maupun jalan. Kondisi seperti ini lambat laun
akan membuat para wanita lupa akan tabiat mereka.
Masalah ini sangat berbahaya karena
bertentangan dengan dalil-dalil syar’i yang memerintah para wanita agar
tinggal di rumah mereka dan mengerjakan berbagai pekerjaan yang menjadi
kekhususan mereka, sesuai dengan fitrah mereka. Dan, tentu saja, jauh
dari campur baur dengan kaum pria.
Tidak sedikit dalil yang shahih dan
jelas yang menunjukkan keharaman berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan
jenis yang bukan mahram, memandangnya, dan segala sarana yang
menyebabkan terjadinya perkara yang diharamkan oleh Allah, seperti ikhtilath (campur baur antar lawan jenis yang bukan mahram).
Allah k berfirman (yang artinya),
“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian, dan janganlah
kalian berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah
dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Allah k berfirman,
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Hal itu
agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga tidak diganggu. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ahzab: 59)
Allah k juga berfirman,
“Dan katakanlah kepada para
perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangan dan memelihara
kemaluan mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan (aurat) mereka
kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan (aurat)
mereka, kecuali kepada suami, ayah, atau ayah suami mereka….” (an-Nur: 31)
Rasulullah n bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى
النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ،
أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Janganlah kalian masuk ke tempat kaum wanita (yang bukan mahram).” Seorang pria dari Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Muslim)
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Tidak boleh seorang pria berduaan dengan seorang wanita, dan tidak boleh seorang wanita bepergian (safar) melainkan dengan mahramnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah n melarang khalwat secara mutlak. Beliau n bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah seorang pria berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), melainkan setan menjadi pihak ketiga.” (HR. at-Tirmidzi)
Beliau n melarang wanita melakukan safar
kecuali jika disertai oleh mahramnya. Tujuannya adalah menutup celah
terjadinya kerusakan dan melindungi wanita dari makar setan. Beliau
bersabda,
اتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَ فِي النِّسَاءِ
“Berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah (godaan) pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” (HR. Muslim)
مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِي أُمَّتِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah kutinggalkan di tengah-tengah umatku sepeninggalku fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi pria daripada wanita.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Maka dari itu, lapangan kerja wanita di
rumah mereka dan tempat-tempat lain yang khusus bagi mereka sudah lebih
dari cukup daripada harus bekerja dengan bercampur baur bersama pria,
ber-tabarruj, dan menangani pekerjaan-pekerjaaan kaum pria.
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata, “Tidak
diragukan bahwa bercampurbaurnya pria dan wanita adalah pangkal segala
musibah dan kerusakan, serta sebab terbesar turunnya azab yang
menyeluruh dan merebaknya perbuatan keji serta perzinaan, bahkan
kematian.” (Thuruq al-Hukmiyyah hlm. 281)
Tidak salah jika kita katakan bahwa
meningkatnya angka kejahatan terhadap wanita di negeri ini antara lain
disebabkan oleh banyaknya wanita yang berkeliaran di luar rumah, ber-tabarruj, sufur, dan berbaur dengan kaum pria. Akibatnya, perampokan, penganiayaan, hingga pelecehan seksual sangat sering terjadi.
Seorang karyawati menuturkan bahwa
ketika pulang dari tempat kerjanya pada pukul 23.00 WIB, dia hampir
diperkosa oleh sopir angkot beserta komplotannya di Lapangan Banteng,
Jakarta Pusat, Senin, 23 Juli 2012. (www.detik.news, 24/7/2012)
Seorang karyawati Bank Mandiri yang berinisial RN mendapat pelecehan seksual yang dilakukan oleh HAS, seorang debt collector pada Mikro Mandiri Cabang Ciputat. (Rabu, 31/10/2012, berita-terbaru.blogspot.com)
Kekerasan seksual terhadap perempuan
masih sering terjadi. Tidak jarang, perempuan harus menerima pelecehan
seksual terlebih dahulu ketika ingin mendapat pekerjaan atau posisi yang
bagus di kantornya. “Hal ini hanya sedikit contoh dari situasi kerja
negatif yang dialami banyak perempuan di Indonesia,” kata Humas Komite
Nasional Perempuan Mahardhika (KNPM), Dian Novita, di Bunderan Hotel
Indonesia, Minggu (4/3/2012).
Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin Baz t mengemukakan, “Islam tidak melarang wanita bekerja dan
berniaga karena Allah k mensyariatkan hamba-Nya bekerja dan
memerintahkan hal itu.
Allah l berfirman,
”Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kalian, maka Allah akan melihat pekerjaan kalian, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin’.” (at-Taubah: 105)
Perintah ini bersifat umum bagi pria dan wanita.
Allah juga mensyariatkan perniagaan bagi
semuanya. Jadi, baik pria maupun wanita diperintah untuk berdagang dan
mendapat rezeki darinya.
Allah l berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang
batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar
suka sama suka di antara kalian.” (an-Nisa’: 29)
Demikianlah, semua nash (dalil) bersifat umum, termasuk hadits Nabi n,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا
لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي
بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang yang melakukan jual beli
boleh melangsungkan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan
jual beli) selama keduanya belum berpisah. Jika jujur dan menjelaskan
kondisi barang dagangan, keduanya diberkahi dalam jual beli tersebut.
Namun, jika keduanya menyembunyikan kondisi barang dagangan dan
berdusta, akan dimusnahkanlah keberkahan jual belinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Allah l berfirman,
“... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Akan tetapi, yang wajib diperhatikan
ketika bekerja dan berniaga ialah setiap pihak hendaknya menjauhi segala
hal yang menimbulkan berbagai problem dan kemungkaran. Oleh karena itu,
wanita menjalani pekerjaannya tanpa berbaur dengan pria dan tidak
menjadi sebab timbulnya fitnah. Demikian pula halnya ketika dia
berniaga, tidak boleh ada fitnah di dalamnya. Tentu saja, dia harus
tetap menjaga hijab dan menjauhi sebab timbulnya fitnah.
Ini yang harus diperhatikan dalam jual beli dan dalam segala hal. Sebab, Allah k berfirman (yang artinya), “Dan
hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian, dan janganlah
kalian berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah
dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Allah l juga telah berfirman,
“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. (Cara) itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (al-Ahzab: 53)
Allah k telah berfirman pula (yang artinya), “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya....” (al-Ahzab: 59)
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh
wanita adalah bahwa pekerjaan dan perniagaan yang dilakukannya tidak
boleh membahayakan agama dan kehormatannya serta tidak membahayakan kaum
pria. Hendaknya ia memilih pekerjaan yang tidak membahayakan agama dan
kehormatannya serta tidak menyebabkan tergoda dan rusaknya kaum pria.
Sebaliknya, di tengah-tengah kaum pria
tidak boleh ada kaum wanita yang bisa menyebabkan ketergodaan dan
kerusakan. Hendaknya wanita bekerja bersama kaum wanita, dan pria
bekerja bersama kaum pria. Dengan demikian, mereka tidak saling
membahayakan dan tidak membahayakan lingkungan secara umum.” (Majmu’ al-Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah)
Dari uraian di atas, jelaslah
duduk persoalan bahwa Islam sama sekali tidak melarang wanita keluar
dari rumah untuk bekerja. Akan tetapi, ada hal-hal yang harus mereka
perhatikan demi menjaga kesucian diri. Semua ini menunjukkan bahwa Islam
memuliakan dan menghormati wanita serta menjunjung tinggi
kehormatannya.
Berikut ini beberapa ketentuan bolehnya wanita bekerja.
1. Jenis pekerjaannya sesuai dengan
tabiat, kodrat kewanitaan, fitrah, dan kelembutannya. Selain itu, wanita
tidak boleh berbaur dengan kaum pria.
2. Pekerjaannya tidak berlawanan
dengan tugas utamanya di rumah terhadap suami dan anak-anaknya. Artinya,
dia tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja.
3. Dia baru keluar untuk bekerja setelah mendapat izin dari walinya, atau suaminya jika sudah menikah.
4. Pekerjaannya terbebas dari hal-hal yang haram, seperti tabarruj dan sufur.
5. Dia harus selalu menghiasi diri dengan ketakwaan.
6. Dia harus selalu mengenakan hijab yang syar’i, tidak boleh menampakkan perhiasan (auratnya) kepada pria yang bukan mahram. (Musykilatul Mar’ah al-Muslimah)
Waffaqanallahu li ma yuhibbu wa yardha (Semoga Allah memberi kita taufik kepada hal-hal yang Dia cintai dan ridhai).
Wallahu a’lam.