Cerita Perjalanan
Perjalanan indah hari ini! Seorang kawan
dari ‘Utmah (daerah asal Syaikh Utsman As Salimi) mengajak ana untuk
turut serta dalam acara silaturahmi ke ‘Utmah. Sekitar 17 peserta.
Lumayan ramai untuk ukuran mobil sekelas ELF yang kami pakai. Ada banyak
pemandangan baru sepanjang perjalanan. Lumayan untuk refreshing…
Dalam perjalanan pulang…
Koordinator rombongan, Ahmad Al Ghanimi berbagi banyak cerita untuk kami yang duduk manis mendengarkan di dalam mobil.
Cerita pilihan versi Ana dari Ahmad Al
Ghanimi adalah cerita singkat tentang nilai-nilai interaksi yang
diajarkan oleh Islam. Hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari proses
mu’amalah, bukan?
Al Cerita :
Seorang pria datang menemui dokter untuk
berkonsultasi. Kebetulan dokter yang dipilih oleh pria tersebut adalah
seorang dokter agamis. Sedikit banyak Al Qur’an dan As Sunnah pernah ia
pelajari. Ternyata, tidak salah pilih pria tersebut!
“Dok, tolong buatkan resep untuk istri saya. Dia mengalami gangguan pendengaran”, pinta pria itu setelah mengeluhkan istrinya yang sulit diajak berkomunikasi.
Sang dokter sebelum memenuhi permintaan itu, malah menganjurkan si pria untuk melakukan trik-trik berikut ini.
Kata sang dokter, “Begini, Saudaraku…
Coba Anda mengambil jarak empat puluh langkah dari istri Anda, setelah
itu mintalah istri Anda untuk melakukan sesuatu. Jika tidak ada reaksi,
mendekatlah sepuluh langkah darinya dan ulangi lagi permintaan Anda.
Jika masih belum juga ada reaksi, teruslah mendekat sepuluh langkah lagi
dan seterusnya, lalu ucapkan permintaan Anda. Kira-kira bagaimana
hasilnya?”
Pria itu menurut saja anjuran dari sang dokter.
Di rumah…
Kira-kira empat puluh langkah pria itu
mengambil jarak dari istrinya, ia mengucapkan, “Wahai istriku sayang,
tolong siapkan makan malam untukku”. Pria itu lalu menyebutkan beberapa
menu tertentu.
Tidak ada reaksi dari istrinya.
Pria itu pun mendekat sepuluh langkah ke
arah istrinya. Permintaan makan malam kembali diucapkan, namun tetap
saja tidak ada reaksi dari istrinya.
Kembali sepuluh langkah ia mendekat,
tetap juga tidak ada reaksi. Sampai akhirnya, pria itu berdiri tepat di
belakang istrinya dan mengatakan permintaan makan malam.
Kira-kira, apa yang terjadi kemudian?
Kata istrinya,” Wahai suamiku, sejak permintaanmu pertama tadi, aku sudah mengiyakan dan menyatakan siap!”
Loh…ternyata? Ternyata pria itulah yang mengalami gangguan pendengaran. Hmm….
Ahmad Al Ghanimi, koordinator perjalanan kami menyimpulkan,
“Mumkin, qad khalalu min ‘indik laa min ‘indi ghairik!”
Kurang lebih artinya demikian, “Barangkali, kekurangan itumalah ada pada dirimu,bukan pada orang lain!”
Cerita ini Ana tetapkan sebagai cerita
pilihan dari sekian banyak cerita yang disampaikan Ahmad Al Ghanimi sore
tadi. Ana lalu merenung, ternyata faktanya memang demikian. Bukankah
terkadang (di dalam proses komunikasi) kita menilai orang lain yang
salah? Padahal sesungguhnya diri kitalah yang salah. Bukankah terkadang
kita menuduh orang lain tidak bisa mengerti tentang kita? Padahal
sebenarnya, kita-lah yang kurang bisa memahami maksudnya.
Cobalah memulai di dalam keluarga kita!
Sudah marah-marah kepada anak karena menangis tidak juga berhenti. Kita
sudah menyalahkannya… Kita sudah membentaknya… Bahkan mungkin kita sudah
memukul anak tersebut. Ternyata anak tersebut memohon melalui
tangisannya, “Abi…gendonglah aku! Abi… aku rindu padamu! Abi…aku ingin
merasakan tenang dalam dekapanmu..! Abiiii…!”.
Hanya saja anak membahasakan
permintaannya dengan tangisan. Jika memang demikian arti tangisan anak,
pasti ia akan semakin bersedih ketika si ayah kita malah menyikapinya
dengan bentakan, amarah bahkan pukulan? Ingin dipeluk, digendong dan
disayang kok malah…?
Demikianlah seharusnya sikap kita kepada
istri, orangtua, sahabat, tetangga dan orang lain di dalam berinteraksi
dan menjalin komunikasi. Apalagi sesama Salafiyyin, bukan?
Jangan-jangan…jangan-jangan…selama ini… Hmmm. Astaghfirullah al adziim…
Jum’at malam,selepas Isya’,08 Dzulqa’dah,13 Sept 2013.
Akhukum : Abu Nasiim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz_republic of yemensumber