Tunaikan Kewajibanmu, Engkau akan Dapatkan Hakmu
Oleh : al Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Allah Subhanahu wata’ala adalah satu-satunya sesembahan kita yang berhak menerima berbagai peribadahan. Dia Subhanahu wata’ala
adalah Zat yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna,
sehingga semua perbuatan-Nya senantiasa mengandung hikmah dan keadilan.
Di antara bukti yang menunjukkannya, Allah Subhanahu wata’ala
menjadikan dunia yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan bagi
seluruh hamba-Nya. Siapa di antara mereka yang taat dan siapa yang
bermaksiat; siapa di antara mereka yang berhak mendapatkan rahmat-Nya
dan siapa yang berhak mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan hal itu di dalam firman-Nya,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (al-Mulk: 2)
Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sebagian kita sebagai ujian dan cobaan bagi sebagian yang lainnya, sebagaimana firman-Nya,
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagiankamu sebagai
cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu
Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)
Termasuk ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wata’ala yang diberitakan dalam ayat ini adalah para penguasa bagi rakyatnya. Tujuannya, menurut Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya, adalah “maukah kalian bersabar, sehingga kalian menegakkan kewajiban-kewajiban, yang dengan sebab itu Allah Subhanahu wata’ala akan memberi pahala, ataukah kalian justru tidak mau bersabar hingga mengakibatkan kalian mendapat siksa?”
Di antara kewajiban kaum muslimin terhadap para penguasanya berdasarkan syariat Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya adalah sebagai berikut.
Mencintai Mereka Karena Allah Subhanahu wata’ala
Allah Subhanahu wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk mencintai mereka karena-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa di antara sifat pemimpin yang baik adalah dicintai oleh rakyatnya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
>خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَ يُصَلُّونَ
عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَ شِرَا رُ أَ ئِمَّتِكُمْ الَّذِ
يْنَ تُبْغِضُو نَهُمْ وَ يُبْغِضُو نَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ
وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَ نُنَابِذُهُمْ
بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ : لَا ، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah para
pemimpin yang kalian cintai dan yang mencintai kalian, mereka mendoakan
kebaikan bagi kalian dan kalian mendoakan kebaikan bagi mereka.
Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian benci dan
yang membenci kalian, kalian melaknati (mendoakan keburukan) bagi
mereka dan mereka melaknati kalian.” Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,“Tidak, selama mereka menegakkan shalat di antara kalian.” (HR. Muslim dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
>Oleh karena itu, hendaknya kaum
muslimin secara umum dan para dai secara khusus menebarkan dan
menguatkan kecintaan mereka terhadap para penguasa karena Allah Subhanahu wata’ala, seperti kata al-‘Allamah Ibnu Jama’ah al-Kinani rahimahullah,
“Di antara sepuluh hak penguasa adalah kembalinya hati yang sempat
membencinya dan terkumpulnya kecintaan rakyat kepadanya. Sebab, kedua
hal ini mengandung kemaslahatan dan kebaikan bagi umat, serta akan
menjadikan teraturnya urusan agama.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 55)
Kecintaan kaum muslimin terhadap para penguasa karena Allah Subhanahu wata’ala akan terealisasi dengan :
- Membantu mereka dalam rangkamenegakkankewajiban mereka karena Allah Subhanahu wata’ala.
Al-‘Allamah Ibnu Jama’ah rahimahullah
berkata, “Di antara hak-hak penguasa atas rakyatnya adalah memikul
tanggung jawabnya terhadap umat dan menolongnya sesuai dengan
kemampuannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
تَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan, janganlah tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Yang paling berhak untuk dibantu dalam urusan tersebut adalah para penguasa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 55)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Seluruh anak Adam, kepentingan-kepentingan mereka, baik yang
berkaitan dengan dunia maupun akhirat, tidak akan menjadi sempurna
kecuali dengan bersatu, saling membantu, dan juga saling menolong.
Mereka saling membantu dalam upaya meraih hal yang bermanfaat bagi
mereka dan saling menolong dalam upaya menepis berbagai macam perkara
yang akan membahayakan mereka. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa
manusia memiliki tabiat-tabiat yang berdekatan (antara satu dengan
lainnya).
Apabila mereka berkumpul, pasti mereka
memiliki kepentingan bersama yang harus mereka tunaikan untuk meraih hal
yang bermanfaat bagi mereka dan juga memiliki urusan yang harus mereka
hindari, karena perkara itu merugikan mereka sehingga mereka harus
menaati pemimpinnya agar tercapai tujuannya.” (al-Hisbah, hlm. 2)
- Bermuamalah bersama mereka dengan adab mulia, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kedua nabi-Nya, Musa dan Harun ‘alaihimas salam untuk mendakwahi Fir’aun la’natullah dalam firman-Nya,
اذْهَبْ
أَنتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي () اذْهَبَا إِلَىٰ
فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ () فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Pergilah kamu beserta saudaramu dengan
membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam
mengingat-Ku. Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia
telah melampaui batas; maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha:
42-44)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam Tafsir-nya, “Ayat ini mengandung pelajaran yang agung. Fir’aun la’natullah berada pada puncak kezaliman dan kesombongan, sedangkan Musa ‘alaihis sallam adalah pilihan Allah Subhanahu wata’ala di antara para hamba-Nya. Meskipun demikian, Allah Subhanahu wata’ala
memerintah Nabi-Nya untuk tidak berbicara dengan Fir’aun kecuali dengan
lemah lembut sebagaimana yang dikatakan oleh Yazid ar-Raqasyi tatkala
menjelaskan ayat tersebut.
Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah
mengatakan, terdapat larangan mencela para penguasa secara khusus
karena akan menyulut api fitnah dan membuka pintu kerusakan terhadap
umat.
Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah
berkata, “Senantiasa umat manusia berada dalam kebaikan selama mereka
memuliakan sulthan (pemimpinnya) dan para ulama. Karena apabila mereka
memuliakan keduanya, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan
memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Apabila mereka melecehkan
keduanya, niscaya mereka akan mendatangkan kerusakan urusan dunia dan
akhiratnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)
- Menasihati mereka dalam urusan agama dan dunia dengan cara yang baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Untuk Allah Subhanahu wata’ala, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin seluruhnya.” (HR. Muslim dari Tamim ad-Dari)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata, “Perbuatan menyebarkan kekurangan/aib para penguasa dan
menyebutkannya melalui mimbar tidak termasuk manhaj salaf. Sebab, hal
itu akan menimbulkan kekacauan, ketidaktaatan masyarakat dalam urusan
yang baik serta pembicaraan yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya
(bagi mereka).”
Akan tetapi, cara yang tepat menurut
salaf adalah menasihatinya dengan sembunyi-sembunyi (rahasia), dengan
surat, atau dengan menghubungi para ulama yang akan mengarahkan mereka
kepada kebaikan. Mengingkari kemungkaran seperti mengingkari zina, minum
khamr, atau riba tanpa menyebutkan pelakunya. Cukup mengingkari
macam-macam kemaksiatan dan memperingatkan umat darinya tanpa
menyebutkan pelakunya, baik pelakunya dari kalangan penguasa atau
selainnya.
Setelah mereka (ahlul fitnah) berhasil
membuka pintu kejelekan itu pada zaman ‘Utsman dan mereka mengingkari
‘Utsman dengan terang-terangan. Lengkaplah fitnah, peperangan, dan
kerusakan yang tidak akan berhenti karena dampak jelek yang
ditimbulkannya sampai hari ini, sehingga muncullah fitnah antara Ali dan
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma, terbunuhnya ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma karenanya, serta terbunuhnya sekian banyak para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan sebab mengingkari kemungkaran dan membeberkan kekurangan dengan terangterangan.
Pada akhirnya, orang yang paling mereka benci adalah pemimpin mereka dan pada puncaknya mereka membunuh pemimpin itu. (Huququ ar-Ra’i wa ar-Ra’iyah karya Ibnu‘Utsaimin, hlm. 27-28)
Mendengar dan Taat dalam Perkara yang Bukan Maksiat
Mendengar dan taat terhadap para
penguasa kaum muslimin dalam perkara yang bukan maksiat adalah perkara
yang telah disepakati kewajibannya menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ini
adalah salah satu prinsip yang membedakan mereka dengan ahlul bid’ah.
Hampir tidak ada sebuah tulisan dalam permasalahan akidah Ahlus Sunnah
kecuali di dalamnya dibahas dengan jelas tentang wajibnya mendengar dan
taat kepada penguasa, walaupun mereka sewenang-wenang, zalim, fasik, dan
jahat. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 59)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
“Wahai orang-orang yangberiman, taatilah Allah, rasul, dan pemimpin kalian.” (an-Nisa’: 59)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ
إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا
سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib bagi setiap muslim untuk
mendengar dan taat (kepada pemimpinnya) baik pada perkara yang disenangi
maupun yang dibenci, kecuali kalau dia diperintah untuk berbuat
maksiat. Apabila dia diperintah untuk berbuat maksiat, tidak boleh
mendengar dan taat (pada perkara itu).” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Dari ‘Alqamah bin Wa’il al-Hadhrami, dari ayahnya, beliau berkata, “Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
‘Wahai Nabi Allah! Apa pendapatmu apabila yang memimpin kami adalah
para penguasa yang meminta kami memenuhi hak mereka, tetapi mereka
menghalangi hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, kemudian berulang dua atau tiga kali, sehingga al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu menariknya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata,‘Dengar dan taatilah, hanyalah dibebankan kepada mereka segala
sesuatu yang wajib mereka tunaikan dan kepada kalian segala sesuatu yang
wajib kalian tunaikan’.” (HR. Muslim)
Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala
telah membebankan dan mewajibkan para penguasa untuk berbuat adil
terhadap rakyatnya. Apabila mereka tidak melaksanakannya, maka mereka
berdosa. Demikian pula Allah ‘azza wa jalla telah mewajibkan
kepada rakyat untuk mendengar dan taat kepada mereka. Apabila mereka
telah menunaikan kewajiban itu, maka mereka akan mendapatkan pahala.
Kalau tidak melaksanakannya, maka mereka berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 66)
Adapun perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidak boleh mendengar dan taat” bermakna pada perkara yang
diperintahkan dan perbuatan maksiat saja. Apabila dia memerintahkan
untuk menjalankan perekonomian dengan cara riba, agar membunuh seorang
muslim tanpa alasan yang benar, atau semisalnya, maka harus mendurhakai
perintah tersebut dan tidak boleh melaksanakannya.
Tidak boleh pula hadits itu dipahami
bahwa jika seorang pemimpin memerintahkan perbuatan maksiat berarti
tidak boleh ditaati secara mutlak pada seluruh perintahnya, tetap wajib
untuk didengar dan ditaati, selain dalam urusan maksiat, maka tidak
boleh mendengar dan taat. (Tahdzibur Riyasah, hlm. 113-114)
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah
berkata, “Para penguasa, walaupun binatang tunggangan itu bisa
menari-nari dengan mereka dan rakyat berjalan di belakang mereka karena
kemaksiatan itu dianggap ringan di dalam hati mereka, syariat tetap
mengharuskan kita untuk menaatinya dan melarang kita untuk
memberontaknya. Kita diperintahkan untuk menepis kejahatan mereka dengan
tobat dan doa. Barang siapa yang menginginkan kebaikan, maka harus
berpegang teguh dengan kebenaran dan mengamalkannya serta tidak
menyelisihinya.” (Adab alhasanal-Bashri li Ibnil Jauzi, hlm. 121)
Sabar Menghadapi Kesewenangwenangan Mereka
Allah Subhanahu wata’ala dengan keadilan yang sempurna telah menakdirkan bahwa kemaksiatan dan kedurhakaan terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya adalah sumber kerusakan dan kehancuran di dunia serta kerugian dan kecelakaan di akhirat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Dengan ayat ini kita yakin bahwa
berbagai kezaliman dan kesewenangwenangan yang dilakukan oleh sebagian
para penguasa itu semuanya terjadi dengan sebab dosa dan kesalahan kita.
Sungguh, al-Hasan al-Bashri menceritakan
bahwa Malik bin Dinar memberitakan bahwa al-Hajjaj berkata,
“Ketahuilah, tatkala kalian melakukan suatu dosa yang baru, Allah Subhanahu wata’ala
akan mengadakan perkara yang baru pula pada penguasa sebagai balasan.”
Sungguh telah sampai berita kepadaku bahwa ada seorang yang berkata
kepada al-Hajjaj, ‘Sungguh engkau telah melakukan perbuatan demikian dan
demikian kepada umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,’
lantas dia menjawab, ‘Tentu, hanya saja aku adalah balasan bagi penduduk
Irak tatkala mereka mengada-adakan perkara yang baru dalam agama mereka
dan meninggalkan sebagian syariat yang dibawa oleh Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wasallam.’
Beliau rahimahullah juga berkata,
‘Sungguh telah sampai kepadaku berita bahwa ada seorang yang menulis
surat kepada sebagian orang-orang saleh mengadukan tentang
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat negara.’ Kemudian dia
menjawab, ‘Wahai saudaraku, telah sampai suratmu kepadaku yang kamu
sebutkan tentang kesewenang-wenangan yang menimpamu dan sebagian aparat
negara. Sudah sepantasnya orang yang telah melakukan suatu perbuatan
maksiat kemudian mengingkari balasan/hukumannya dan tidaklah aku
meyakini tentang perkara yang menimpamu itu kecuali kejelekan yang
ditimbulkan oleh dosa-dosa. Wassalam’.”(Adab al-Hasan al-Bashri li Ibnil Jauzi, hlm. 119—120)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Kesewenang-wenangan dan kezaliman yang dilakukan oleh para
penguasa, yang bersumber dari takwil -yang dibolehkan ataupun yang
tidak- tidak boleh (menjadi alasan) untuk mengadakan kudeta, karena
sikap ini termasuk kezaliman dan kesewenangwenangan.
Seperti kebiasaan yang dilakukan oleh
mayoritas jiwa -berusaha menghilangkan keburukan dengan cara yang lebih
buruk dan berusaha menghilangkan permusuhan dengan cara permusuhan yang
lebih buruk- memberontak kepada penguasa akan menimbulkan kezaliman dan
kerusakan yang lebih besar daripada kezaliman yang mereka lakukan.
Sikapilah dengan sabar, sebagaimana
harus sabar tatkala memerintahkan perkara yang ma’ruf dan melarang yang
mungkar atas kezaliman yang dilakukan oleh orang diperintah dan dilarang
pada banyak tempat, seperti pada ayat al-Qur’an. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا
بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpakamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (Luqman: 17)
Perintahkan yang ma’ruf dan laranglah yang mungkar, sabarlah atas segala sesuatu yang menimpamu. (Majmu’ Fatawa, 28/179)
Allah Subhanahu wata’ala
mengabarkan nikmat yang dilimpahkan kepada bani Israil dengan sebab
kesabaran mereka menghadapi Fir’aun dan tentaranya dengan bimbingan Nabi
Musa ‘alaihis sallam,
وَأَوْرَثْنَا
الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ
وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا ۖ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ
الْحُسْنَىٰ عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا ۖ وَدَمَّرْنَا مَا
كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang
telah ditindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya
yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan
Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran
mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan
apa yang telah dibangun mereka.” (al-Araf: 137)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala senantiasa melimpahkan hidayah taufik-Nya kepada kaum muslimin semuanya, sehingga termasuk orang-orang yang sabar. Amin.
Doa yang Mulia bagi Penguasa
Kebaikan dan keadilan para penguasa
adalah harapan setiap muslim yang cemburu terhadap agamanya. Sebab,
kebaikan dan keadilan mereka berarti kebaikan bagi para hamba dan
negerinegerinya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mukminin
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala menjelang meninggalnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Ketahuilah, bahwa umat manusia itu akan senantiasa berada dalam
kebaikan selama para penguasa dan para pemberi petunjuknya (ulama)
istiqamah memerhatikan mereka.”
Atsar di atas diriwayatkan oleh
al-Baihaqi di dalam Sunan-nya kitab Ahlul Baqi pada bab “Fadhlul Imamul
‘Adil” dengan sanad yang sahih.
Di dalam Sunan itu pula, ada atsar dari al-Qasim bin Mukhaimirah radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Kebaikan dan kerusakan zaman kalian tergantung pada penguasa
kalian. Apabila penguasa kalian baik, akan baik zaman kalian. Apabila
penguasa kalian rusak, rusak pula zaman kalian.”
Kebaikan para penguasa itu kembali kepada Allah Subhanahu wata’ala semata. Allah Subhanahu wata’ala
yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki ke jalan
yang lurus. Maka dari itu, setiap mukmin yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan hari akhir wajib mendoakan kebaikan bagi para penguasa agar mendapatkan hidayah, taat kepada Allah Subhanahu wata’ala,
dan berjalan di jalan yang diridhai, karena manfaatnya akan kembali
kepada seluruh orang yang beriman di dunia dan di akhirat. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 131)
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Sesungguhnya saya mendoakan kebaikan bagi pemimpin itu agar senantiasa
lurus, mendapatkan hidayah, taufik, dan pertolongan pada waktu malam
dan siang. Aku berkeyakinan hal itu wajib bagiku.” (as-Sunnah lil Khallal, 14)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Kalau saja aku memiliki satu doa yang mustajab, maka aku tidak akan panjatkan kecuali untuk kebaikan imam (pemimpin).”
Beliau rahimahullah ditanya, “Bagaimana hal itu, wahai Abu Ali?” Beliau rahimahullah
menjawab, “Apabila aku panjatkan doa itu untuk diriku, kebaikannya
hanya untukku. Namun, apabila aku panjatkan doa itu untuk kebaikan imam,
kebaikan imam akan mengakibatkan kebaikan hamba dan negara.” (Hilyatul
Auliya’, 8/91)
Setelah meriwayatkan hadits Tamim ad-Dari radhiyallahu ‘anhu yang marfu’, “Agama itu nasihat,” Abu ‘Utsman Sa’id bin Ismail rahimahullah
berkata, “Nasihatilah penguasa, perbanyaklah doa kebaikan, dan
bimbingan dalam ucapan, perbuatan, dan keputusan hukum baginya. Sebab,
apabila mereka baik, menjadi baiklah hamba-hamba dengan sebab kebaikan
mereka. Takutlah kamu untuk mendoakan kejelekan bagi mereka dengan
laknat. Itu hanya akan menambah kejelekan dan musibah bagi kaum
muslimin. Akan tetapi, doakan kebaikan bagi mereka, agar bertobat
sehingga mereka akan meninggalkan keburukan. Akhirnya, terangkatlah
musibah itu dari kaum muslimin.” (Riwayat al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, 13/99)
Perhatian ulama terhadap masalah ini terbukti dengan :
1. Memasukkan anjuran doa kebaikan bagi
para penguasa dalam kitab-kitab akidah salaf yang ringkas, seorang
muslim dituntut untuk meyakininya. Sebab, hal itu dibangun di atas
hujah-hujah yang syar’i dari al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’ para imam
muslimin.
2. Sebagian ulama menulis dalam kitab
khusus membahas hal itu, seperti al-Imam al-‘Allamah Yahya bin Manshur
al-Harrani al-Hanbali, yang terkenal dengan sebutan Ibnul Hubasyi rahimahullah, mengarang kitab yang berjudul “Da’aimul Islam fi Wujubi ad-Du’ailil Imam”.
3. Sebagian ulama ahli tahqiq menjadikan
doa kebaikan bagi para penguasa sebagai salah satu ciri seorang sunni
salafi. Sebaliknya, mendoakan keburukan atas nama para penguasa menjadi
salah satu ciri ahlul bid’ah yang sesat.
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah
di dalam kitab SyarhusSunnah berkata,“Apabila engkau melihat seseorang
mendoakan kejelekan bagi penguasa, ketahuilah bahwa dia pengekor hawa
nafsu. Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi
penguasa, ketahuilah bahwa dia pengikut sunnah, insya Allah.” Wallahu a’lam.