Ku Temukan Cinta di Dalam Manhaj Salaf
Abu Nasiim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz
Judul tulisan di atas sengaja
saya ambil dari sebuah tema Daurah SMA se Eks Karesidenan Surakarta.
Ketika itu, mulai dari 25 Desember sampai dengan 28 Desember 2009,
Pesantren kami mengadakan kegiatan Daurah untuk yang ke-empat kalinya
bagi siswa-siswi SMA/SMK, memanfaatkan musim liburan.
Ketika sebagian muslimin ikut
terlena dalam perayaan Natal atau persiapan malam tahun baru, anak-anak
muda itu justru semangat-semangatnya mengkaji Islam berdasarkan Al
Qur’an, As Sunnah dan pemahaman Salaf. Rindu dan kangen rasanya dengan
momen-momen seperti itu.Sudah ratusan anak muda yang pernah mengecap
manisnya Daurah SMA/SMK tersebut. Entah di mana mereka sekarang?
Semoga saja mereka tetap istiqomah!
O0000_____ooooO
Bus yang kami gunakan
berukuran sedang. Kurang lebih, empat puluh kursi yang tersedia. Hari
Jum’at kemarin, untuk yang kedua kalinya, kawan-kawan dari kabupaten
Utmah mengajak saya untuk bergabung bersama mereka dalam kunjungan ke
Utmah. Kesempatan yang sulit ditolak! Utmah hari-hari ini dalam view
indah-indahnya, kata mereka.
Dalam perjalanan pulang,
menjelang maghrib, seorang kawan bernama Basyir Al Aanisi mengubah
suasana hening menjadi hidup. Dari tempat duduknya yang berada di ujung
kiri bagian belakang, ia didaulat untuk berkisah kecil tentang dirinya.
“Ceritakanlah perantauanmu!
Pengembaraanmu untuk mencari kebenaran hakiki. Pengembaraan yang
membuatmu keluar masuk berbagai kelompok Islam. Buatlah kami belajar
darimu!”, kata wakil koordinator rombongan.
Mula-mula ia menolak. Dengan
malu-malu ia mengaku tidak pantas berbicara di hadapan kami serombongan.
Namun permintaan yang terus mengalir disertai dengan permohonan
bersama, ia pun mulai bercerita.
Sudah banyak kelompok Islam ia
datangi. Duduk, berjalan, berdiskusi, hidup dan bergaul di
tengah-tengah mereka. Bertahun-tahun lamanya ia mencari kedamaian di
hati, namun masih gersang juga hatinya. Ingin ia membasahi hati agar
segar, sejuk, hidup dan menyalurkan keteduhan ke seluruh jiwanya.
Kelihatannya ia berkisah
dengan hati. Itu terlihat dengan teriakan takbir secara spontan dari
sebagian peserta. Berkisahnya seakan membius kami. Terharu, tersentuh
dan tersentak kami dengan ceritanya.
“Satu hal yang saya simpulkan
dari kelompok-kelompok itu! Tiap-tiap kelompok menuntut agar pengikutnya
memberikan sesuatu untuk kelompoknya. Ikhwanul Muslimin meminta suaramu
untuk menang pemilu. Jama’ah Tabligh mengharuskanmu untuk hidup
berhari-hari di jalanan. Mau tidak mau, kamu harus duduk khusyu’ di
depan kuburan jika bergabung bersama kaum Sufi”, katanya penuh semangat.
Ia melanjutkan,” Namun berbeda
sangat! Setelah saya mengenal Sunnah, Manhaj Salaf,apa yang dituntut?
Saya tidak dituntut agar memberikan apa-apa untuk Ahlus Sunnah!
Belajarlah agama untuk kepentinganmu sendiri! Shalat, puasa dan
beribadahlah untuk kebaikanmu sendiri! Engkau berdakwah? Itu bukan
karena dakwah membutuhkan kamu, tetapi kamulah yang membutuhkan dakwah!”
“Apakah kamu pernah menangis bahagia ketika mengenal manhaj Salaf? “,tanya seorang peserta.
Ia menjawab dengan bercerita tentang dzikir pagi yang biasa ia baca,
اللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنْكَ وَحْدَكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ، وَلَكَ الشُّكْرُ“Ya Allah,setiap nikmat yang aku rasakan di pagi ini, hanyalah berasal dari-Mu semata. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Maka segala puji dan syukur hanyalah untuk-Mu”[1]
“Setiap aku membaca dzikir di atas, aku yakin bahwa nikmat
terbesar dalam hidupku adalah mengenal Sunnah, mendekap manhaj Salaf”,
katanya mengakhiri kisah.
Kisah panjangnya itu mengundang banyak tanggapan dari peserta.
“Man jadda wajada. Barangsiapa bersunggguh-sungguh, pasti ia akan memperoleh yang dicari”
“Man bahatsa amsaka. Barangsiapa mencari, niscaya ia akan merengkuhnya”
“Lan ya’rifa ahadun qadral halaawah illa man jarrabal maraarah. Tidak ada seorangpun yang benar-benar bisa menilai nilai “manis”,kecuali ia pernah merasakan “pahit”.
Namun,yang terpenting dari itu semua adalah firman Allah Ta’ala ;
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَDan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. 29:69)
O0000_____ooooO
Saya teringat tentang sebuah
malam di Masjid Ibnu Taimiyah, Solo. Seorang bapak berpenampilan rapi
terlihat begitu antusias di dalam kajian Islam selepas maghrib hari itu.
Dengan ditemani Bang Indra, seorang sahabat dekat, mengalirlah
perbincangan di antara kami. Saya, Bang Indra dan bapak itu.
“Akhirnya,saya menemukan apa
yang saya cari-cari selama ini, Ustadz”, ujarnya. Secara ringkas, bapak
itu bercerita tentang latar belakangnya sebagai seorang seniman.
Kesukaan kepada dunia seni, menghantarkan beliau menjadi seorang dosen
seni di sebuah universitas negeri di kota Yogyakarta. Karir mentereng di
dunianya.
Beliau sempat menyatakan,”
Teman-teman saya banyak yang berpandangan atheis. Tidak meyakini
keberadaan sang Khalik. Awalnya saya pun terbawa oleh pandangan
tersebut. Namun, saya mulai merasakan kegalauan dan kegelisahan”.
Bapak itu bercerita tentang
usahanya yang tidak pernah kenal lelah untuk menemukan penawar
gelisahnya. Waktu dan kesempatan digunakan untuk melakukan browsing,
berselancar di dunia maya. Mencari dan terus mencari. Agama Islam yang
senyatanya banyak firqah dan kelompok sempalan di dalamnya, justru
menambah semangat beliau untuk terus mencari.
“Nah, akhirnya saya ketemu
dengan Mas Indra di masjid kampung, Ustadz. Saya mulai sedikit-sedikit
merasakan apa yang selama ini telah hilang dari diri saya”, kata bapak
itu.
Tahukah Anda, di manakah titik
kulminasi kegelisahan beliau? Ketika beliau, dengan dasar ilmu seni
yang dimiliki, mengagumi keindahan alam semesta. Merenungkan keteraturan
angkasa raya ini.” Keteraturan yang maha sempurna ini tentu membuktikan
bahwa di sana ada Dzat yang mengaturnya!”, kata bapak itu penuh
semangat.
Subhaanallah! Kegelisahan
telah menghantarkan beliau ke Manhaj Salaf.Sebuah hasil pencarian.
Perjalanan spiritual untuk meraih cinta Ar Rahman.Semoga Allah
memberkahi beliau.
O0000_____ooooO
Bersabar untuk merengkuh
nikmatnya hidup bermanhaj Salaf mengingatkan saya kepada sosok sederhana
dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Perjalanan yang ia tempuh hingga
akhirnya merasakan indahnya Manhaj Salaf terbilang berliku-liku.
Profesi di bidang desain grafis ia tinggalkan karena tak bisa lepas dari
gambar makhluk bernyawa. Sebuah keputusan yang semakin memperuncing
konflik di dalam keluarga.
Istrinya menentang saat ia
mulai memanjangkan janggutnya. Perubahan demi perubahan sikap belum bisa
diimbangi oleh sang istri. Cekcok adalah santapan sehari-hari. Apalagi
pihak keluarga besar sudah mulai ikut campur. Cerita-cerita yang ia
sampaikan kepada saya memang menegangkan lagi mengharukan. Bahkan,
istrinya pernah lari menghilang.
Subhaanallah!
Memang sudah menjadi sunnatullah,
siapa saja yang bertekad untuk menjadi hamba yang shalih, harus
dihadapkan dengan berbagai ujian. Apakah ia jujur? Apakah ia
bersungguh-sungguh? Apakah ia mudah putus asa? Cepat menyerah? Untuk
menguji, seberapa besarkah rasa cinta Nya kepada Allah?
Hari masih begitu pagi, saat
ia mengetuk pintu rumah. Gelapnya malam belum terhapus bersih oleh
siang. Pasti ada sesuatu yang sangat penting, pikir saya saat itu.
Sambil menikmati sejuknya pagi, kami berdua terlibat perbincangan yang
serius. Iya, di teras depan rumah saya.
Ia tumpahkan semua
uneg-unegnya. Ia curahkan endapan rasa dari hatinya. Hampir saja ia
putus asa untuk membujuk istrinya. Menyedihkan!
“Begini, Mas. Setiap proses
pasti membutuhkan waktu. Coba Panjenengan jawab pertanyaan saya,” Berapa
tahun yang Antum butuhkan untuk berubah semacam ini? Sampai Antum
benar-benar menerima Manhaj Salaf sepenuh jiwa? Lama kan? Bertahun-tahun
kan?”, saya mengajaknya untuk berpikir tenang.
Seringkali kita dikuasai oleh
sikap egois. Kenapa egois? Bertahun-tahun lamanya kita berlari-lari,
mengitari sekian banyak titik, untuk mencari kebenaran hakiki. Akan
tetapi, setelah menemukannya, kita seakan “memaksakan” kebenaran itu
kepada orang-orang yang kita sayangi. Kita seolah “memaksakan” dalam
waktu sekejap, agar orangtua kita menjadi Salafy. Anak-anak, istri atau
suami menjadi Salafy.
“Semua membutuhkan waktu, Mas.
Panjenengan mesti bersabar! Buktikan bahwa setelah menjadi Salafy,
Panjenengan semakin lebih baik lagi di dalam memperlakukannya sebagai
seorang istri. Kesankan dan hidupkan kesan di dalam hati istri bahwa
setelah menjadi Salafy ia akan bertambah bahagia, nyaman dan tentram!”,
pesan saya.
Subhaanallah! Al Quluub bi yadillah.
Hati manusia memang berada di antara jari jemari Allah! Waktu terus
berjalan dan di sebuah saat, sahabat saya di atas
menyampaikan,”Alhamdulillah, Ustadz. Istri saya sudah mau pakai jilbab”.
Beberapa bulan kemudian, ia bercerita kalau istrinya sudah mau diajak ngaji.
Dan, sebelum saya berangkat ke Yaman, sahabat saya ini telah menyewa
sebuah rumah sederhana di lingkungan Salafy bersama istri dan
anak-anaknya. Walhamdulillah
O0000_____ooooO
Pagi ini saya berhenti sejenak pada ayat ke-39 di dalam surat Al An’am.
Sangat indah!
Menenangkan hati sekaligus
menghadirkan kecemasan. Hati menjadi tenang karena ayat tersebut sangat
menghibur mereka yang telah berjuang menyuarakan al haq, menyerukan
Manhaj Salaf, namun berakhir dengan penolakan. Di kesempatan yang sama,
ayat ini pun menghadirkan kecemasan, apakah kita mampu bertahan di atas
cahaya hidayah sampai nafas terakhir esok?
Melalui ayat tersebut,Allah berfirman,
مَن يَشَإِ اللهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍBarangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), Niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus. (QS. 6:39
Memberikan petunjuk atau menyesatkan adalah hak mutlak milik Allah. Semua ketetapan Nya pasti di atas hikmah dan keadilan. Al Fadhlu lillahi wahdah.
Namun, Allah tidak membiarkan
umat manusia begitu saja. Jalan-jalan hidayah telah diterangkan secara
sempurna oleh pesuruh-pesuruh Nya. Manusia diberi kemampuan melihat,
mendengar, mencerna ,mengolah dan berpikir. Tanda-tanda kebesaran Nya
jelas sekali terlihat di alam semesta ini. Ayat syar’iyyah dan ayat kauniyyah!
Ah, bagaimana dengan kita?
Mampukah kita tetap istiqomah di jalan Allah sampai akhir hayat nanti?
Ya Allah,tetapkanlah hati kami di atas Islam, As Sunnah dan Thalabul
Ilmi. Amin yaa Arhamar Raahimiin.
_Daar El Hadith Dzamar_Republic Of Yemen_sebagian dinukil dari buku Resah, Kesah dan Gelisah Kita (dalam proses)_Sabtu 11 Shafar 1435 H/14 Desember 2013_
[1]
Hadits Abdullah bin Ghannam Al Bayadhi riwayat Abu Dawud (5073) di
dhaifkan oleh Al Albani. Adapun Syaikh Ibnu Baaz menghasankan sanadnya. Wallahu a’lam