.
Resolusi Kaum Thalib untuk Berkarya
Abu Nasiim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz
Awalnya
saya ingin menggunakan frasa “kaum santri”. Akan tetapi, tidak ada
salahnya jika memilih istilah lain untuk menggelari kaum santri Salafy.
Pikir demi pikir, yang langsung terlintas di benak adalah frasa ‘kaum
thalib’. Dalam bahasa Arab, thalib mengandung makna seorang pelajar,
penuntut ilmu, siswa bahkan mahasiswa pun tidak jarang disebut thalib.
Resolusi diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan ; ” Putusan
atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan
oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi
tuntutan tentang suatu hal“. Namun dalam penggunaan sehari-harinya, makna resolusi sering dipersingkat menjadi ‘sebuah tekad kuat’.
Tulisan sederhana ini saya
susun untuk sedikit menggambarkan kondisi kaum thalib yang sedang
berjuang gigih di negeri Yaman, untuk menghimpun bidang-bidang ilmu
warisan Salaf. Secara khusus lagi adalah gantungan-gantungan tanya yang
sering bergelayutan di dalam pikiran mereka,”Esok hari, bila tiba di
negeri pertiwi, pekerjaan apa yang menanti dan akan digeluti ?”
O0000_____0000O
Suasana akrab itu sebenarnya
terjadi beberapa malam lalu. Berlagak sebagai seorang moderator, saya
membuka bincang-bincang ringan. Kami sekumpulan kaum thalib, berusaha
menimba ilmu dari seorang praktisi bisnis yang kebetulan sedang
berkunjung ke tempat kami. Penuh keakraban dan berwarna santai.
Beliau kami panggil dengan
sebutan Pak Abu. Usianya sudah lima puluh tahun. Uban-uban putih nampak
berjajar rapi di balik kopiah putih yang dipakainya. Pak Abu termasuk
pengusaha konveksi yang lumayan sukses di Indonesia. Usia ternyata bukan
menjadi penghalang beliau untuk melangkahkan kaki sampai di negeri
Yaman demi berthalabul ilmi, bergabung bersama kami, kaum thalib.
“Mumpung ada kesempatan, Pak
Abu. Kaum thalib semacam kami ini, yang menghabiskan umur dan waktu
untuk mempelajari firman Allah dan sabda Rasul, seringkali dibenturkan
dengan sebuah pertanyaan”, begitulah saya memulai.
“Orangtua, saudara, kerabat,
tetangga atau sahabat sering bertanya. Bahkan pertanyaan itu juga
terkadang malah muncul dari perasaan kami sendiri. Kalau kamu belajar
agama sampai seperti itu, besok kamu akan kerja apa? Besok apa yang akan
kamu makan, istri dan anak-anakmu?”, saya melanjutkan.
Kemudian saya menutup
mukaddimah, “Nah, barangkali Pak Abu bisa berbagi pengalaman. Apakah
peluang usaha untuk kami-kami ini masih terbuka di Indonesia? Apakah
kaum thalib, yang sebagiannya tidak kuliah atau bahkan hanya lulusan SD
ini juga memiliki kesempatan untuk bekerja?”.
Pak Abu hanya senyum-senyum
saja. Kami yang hadir juga ikut tersenyum sambil tertawa kecil. Aneh
juga, sebelum makan malam malah dikondisikan dengan suasana sedemikian
ini. Pak Abu yang berstatus tamu kehormatan malah didaulat untuk berbagi
cerita.
Akhirnya Pak Abu memulai juga. Kata beliau,
“Peluang usaha di Indonesia masih terbuka lebar. Mencari uang yang halal banyak jalannya. Yang penting kejujuran dan keuletan harus menjadi dasar utamanya. Tidak perlu berkecil hati karena tidak punya ijazah. Toh, banyak pengangguran malah ke sana kemari menenteng ijazah S1″..“Rezeki itu sudah diatur Allah. Saya tidak mungkin bisa merebut jatah orang lain yang sudah ditetapkan Allah. Sebaliknya, jatah saya tidak akan mungkin berpindah ke orang lain. Masing-masing sudah diatur oleh Allah”, ujarnya melanjutkan.
Setelah itu Pak Abu mulai
bercerita tentang kisahnya memulai usaha konveksi. Dari yang hanya
sepotong dua potong sampai kini omsetnya ribuan potong per bulan. Suka
dukanya juga tidak lupa beliau ceritakan.
Selain itu, Pak Abu juga
menceritakan beberapa ikhwan Salafy yang telah sukses dalam dunia usaha.
Mereka yang mula-mula hanya seorang pelaku usaha kecil-kecilan, sampai
di kemudian waktu menjadi pengusaha sukses. Pedagang herbal, penjual kue
pukis, penjahit bordir pakaian adalah beberapa contoh nyata yang
disebutkan oleh Pak Abu malam itu.
Seorang kawan lalu mengajukan pertanyaan, “Usaha itu kan butuh modal, Pak Abu. Sementara kami, dapat dari mana modalnya?”.
Pak Abu menjawab, “Yang
penting memulai. Adanya hanya sepuluh ribu, ya sepuluh ribu dulu.
Setelah itu pasti berkembang jika kita serius dan tekun, insya Allah”.
Beberapa hal yang disampaikan
Pak Abu memang terasa mencerahkan pikiran. Perasaan yang sebelumnya
terjepit dan terhimpit oleh kejaran tanya ‘Besok kerja apa?’ sudah
berangsur menguap. Sampai-sampai seorang sahabat yang hadir di malam itu
berujar, “Daripada uang dihabiskan untuk kuliah, bagus Ana pakai untuk
modal buka usaha air isi ulang!”.
O0000_____0000O
Allah telah menerangkan
langkah-langkah yang ditempuh oleh setan untuk menyesatkan manusia agar
kita terhindar dan menjauhi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh setan
adalah meniup-niupkan, menghembuskan dan membisikkan kekhawatiran di
dalam hati anak manusia. Khawatir miskin, takut fakir, kehilangan harta
padahal membutuhkan adalah bisikan-bisikan setan.
Bisikan setan seperti itu,
terkadang terdengar oleh telinga kita. “Kalau dari kecil di pesantren,
besok mau kerja apa? Kerjaannya cuma hafal Al Qur’an, memangnya nanti
mau makan apa? Ngaji terus, ngaji melulu, apakah kamu tidak memikirkan
masa depanmu?”.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an,menjelaskan tipu daya setan ini;
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌSyaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:268)
Ya! Setan dan bala tentaranya
tidak akan diam dan tinggal tangan melihat anak cucu Adam berkutat dari
waktu ke waktu, mempelajari dan menekuni Kitabullah dan sunnah Nabi.
Setan akan bersedih jika menyaksikan sekelompok anak-anak muda Islam
tekun dan bersabar memilih Thalabul Ilmi sebagai jalan hidupnya. Ya,
setan akan terus menggoda kaum thalib agar jenuh dan bosan.
Tujuan akhirnya? Kaum thalib meninggalkan garis terdepan dalam thalabul ilmi. Nas’alullah as salaamah wal ‘afiyah.
Bagaimana mungkin kaum thalib
akan goyang dalam bersikap? Sementara sehari-hari mereka mendengar,
membaca dan merenungkan ayat-ayat Allah tentang rejeki. Bukankah mereka
benar-benar hafal akan firman-Nya ?
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ.Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. 11:6).وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri.Allah-lah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 29:60)
Kaum thalib tidak pernah ragu,
bila rejeki telah ditetapkan Allah. Mereka tidak akan gentar atau cemas
tentang ‘masa depan’ yang sering dijadikan pertanyaan oleh orang-orang.
Sebab kaum thalib selalu mendengar, membaca dan merenungkan sabda-sabda
Rasulullah yang selalu mengajarkan untuk berusaha keras disertai dengan
tawakal kepada Allah.
Memang benar. Untuk bekerja
diperlukan keahlian atau ketrampilan. Sementara pesantren-pesantren kita
–sebagiannya- tidak mengajarkan hal itu. Ingat, hal ini tidak patut
untuk dijadikan alasan untuk tidak mengarahkan anak-anak kita belajar
agama di pesantren sebagai kaum thalib.
Pertanyaannya,
“Sumbangsih apa yang telah engkau berikan untuk pesantren? Bukankah seharusnya kita bekerjasama untuk mengembangkan pesantren? Bukannya pesantren malah ditinggalkan!”..Keahlian dan ketrampilan bisa diberikan juga untuk kaum thalib yang gigih berjuang di pesantren, namun apa yang akan engkau berikan untuk mereka? Jangan hanya mengkritik pesantren!
O0000_____0000O
Sebagai penutup, ijinkan saya mewakili kaum thalib untuk mengucapkan ikrar berikut ini :
Kami kaum thalib, telah bertetap hati untuk menghabiskan waktu mempelajari firman Ilahi dan sabda Nabi. Kami tidak peduli dengan omongan atau cibiran orang-orang tentang thalabul ilmi yang kami jalani..Walau sering ditanya, “Besok mau kerja apa?”, namun kami tidak pernah berkecil hati. Buktinya kawan-kawan kami tetap hidup dengan senang tanpa mengorbankan harga diri..Kami kaum thalib, yakin-seyakinnya bahwa Laisal ghinaa bi katsratil ‘aradh walakinnal ghinna ghinan nafsi. Kekayaan tidak diukur dengan harta, kekayaan sejati adalah kaya hati..Kami sering bertanya tanpa ada jawaban, “Apa yang bisa dibanggakan dari selembar ijazah, jika tidak bisa shalat tidak bisa mengaji?”. Sekali lagi kami percaya bahwa kekayaan hakiki terletak di hati.
Wallahu a’lam
_Daarul Hadits Dzamar_Yaman
_04 Rabiul Awwal 1435 H_05 Januari 2014_