Sebab Cinta Tak Berdinding
(Rinai-rinai Cerita Episode Kelima)
Tidurku sebelum Dzuhur hari ini harus
diakhiri dengan nyaringnya ucapan salam dari seorang kawan yang datang.
Walau kacamata minus 5 belum sempat aku pasang di sepanjang kedua mata,
dari intonasi gelak tawanya aku tahu kawan yang datang adalah…” Fadli
Ambon…!”. Gaya tertawanya khas. Tak ada seorang pun yang bisa
menyamainya.
“Afwan Ustadz…he..hee… Ana nganterin
titipan buat Antum dari rombongan yang datang kemaren”, katanya sambil
duduk membuka tasnya di hadapanku. Oh iya… dengan posisi duduk selepas
berbaring, bayanganku segera melambung jauh, menjumpai seraut wajah
mungil di seberang sana.
Izzah Zainatus Shofaa… Nama untuk
putriku ini memang tampil beda. Sepertinya, tidak ada nama yang sama
dengan nama putriku sebelum ini. Neneknya dari Sulawesi sudah
wanti-wanti,
“Namanya… Pokoknya harus ada huruf Z nya”.
Begitulah pesan neneknya sehari setelah
putriku lahir. Kedua kakak perempuannya punya pesan berbeda, “Yang masih
jarang dipakai aja…”.
Setelah merenung dan merenung… Berfikir lalu terus berfikir… Lahirlah nama Izzah Zainatus Shofaa.
“He…heee… langsung disantap saja nih,
Ustadz”, suara Fadli Ambon menyadarkan diriku dari lamunan
sesaat. Titipan paket dari rumah di Solo terbungkus plastik hijau. Di
dalamnya ada dua buah sikat gigi, dua buah pasta gigi dan lima buah Mini
Jelly.
Lima buah Mini Jelly itu adalah kiriman
dari putriku, Izzah Zainatus Shofa yang kini berusia empat tahun lebih.
Tidak semua orang dapat menentukan berapakah sebenarnya nilai dari lima
buah Mini Jelly. Namun bagiku, lima buah Mini Jelly itu sangat berarti.
Mini Jelly itu adalah lambang kerinduan seorang putri kepada ayahnya.
Jelas! Mini Jelly itu tidak boleh dirupiahkan. Inilah cinta ! Cinta tak
dapat dirupiahkan. Cinta tak bisa dihalangi oleh dinding-dinding
penyekat. Sebab cinta tak berdinding.
Ya Allah… Seperti inikah rindu orangtua kepada anaknya?
Baru kali ini aku mampu meraba-raba rasa
rindu Ya’qub ‘alaihis salaam kepada putranya, Yusuf. Terpisahkan
berpuluhan tahun dengan takdir dan hikmahNya. Ya’qub yang selalu
mengingat-ingat Yusuf walaupun berita tentangnya seolah hilang tak
berbekas. Kisah “terbunuhnya” Yusuf oleh menghapus wujud Yusuf di mata
ayahnya.
Apa kata anak-anaknya?
قَالُوا تَاللَّهِ تَفْتَأُ تَذْكُرُ يُوسُفَ حَتَّىٰ تَكُونَ حَرَضًا أَوْ تَكُونَ مِنَ الْهَالِكِينَ.Mereka berkata: “Demi Allah, senatiasa engkau (wahai Ayah) mengingat-ingat Yusuf, sehingga engkau mengidap penyakit yang berat bahkan engkau termasuk orang-orang yang binasa”. (QS. 12:85)
Kesedihan karena terpisahkan dari sang
anak, membuat Ya’qub selalu menangis mengingatnya. Kedua mata Ya’qub
akhirnya tak lagi mampu melihat. Buta karena tangisan. Tangisan yang
bersumber dari kerinduan kepada Yusuf, si putra yang menghilang. Seperti
itukah kerinduan dan kesedihan orangtua yang berpisah dengan anaknya ?
Namun Ya’qub mengajarkan kepada kita
tentang sebuah warna terang dalam kehidupan… Endapkan rasa itu! Tabah
dan penuh keyakinan, Ya’qub menanggapi pernyataan anak-anaknya,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ.“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya”. (QS. 12:86)
Ya Allah… Hanya kepadaMu, hamba mengadukan kesusahan dan kesedihanku… HambaMu yang selalu teringat akan putrinya…
Aku baru benar-benar mengerti, gejolak
rasa semacam apakah yang memenuhi jiwa Ibunda Musa ‘alahis salam.
Seorang Ibu yang mesti terpisahkan dengan seorang putra sejak masih
dalam buaian dan susuan. Seorang Ibu yang harus melihat kenyataan
“pahit”, ketika sang bayi terapung di atas aliran sungai. Hanya berteman
keranjang, tiada yang lainnya. Jiwa Ibunda Musa kosong… Hampa… Sunyi…
Hingga akhirnya dengan kuasa dan rahasia
dari Allah, Musa kembali di pangkuan dan susuan Ibundanya… Dengan
kekuatan dan pertolongan Allah, Ibunda Musa mampu mengendapkan rasa.
Padahal, hampir saja ia bercerita kepada orang-orang tentang “rahasia”
putranya yang dihanyutkan.
Sungguh indahnya Allah berfirman di dalam kitab Nya yang suci,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُواْ نِعْمَةَ اللّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّواْ قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ.Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. 28:13)
Ya Allah… Kembalikanlah hamba kepada
putri hamba, supaya senang hati hamba dan tidak berduka cita dan supaya
hamba bertambah yakin bahwa janjiMu kepada mereka yang menempuh Thalabul
Ilmi itu adalah benar…
Seperti inikah rasa sayang orangtua kepada anaknya?
Hari ini aku semakin memahami seperti
bagaimanakah perasaan seorang Ibrahim ‘alaihis salaam. Beliau yang
sekian lama menanti si buah hati. Sekalinya sang buah hati hadir,
perintah Allah mesti beliau jalani. Ibrahim harus “tega” berpisah dari
putranya, ditinggalkan di sebuah lembah sepi, tanpa teman tiada orang.
Tanpa makanan juga minuman. Apalagi dihadapkan dengan perintah, “Wahai
putraku, semalam aku bermimpi menyembelih dirimu… Apa pendapatmu?”.
Kembali kita diajarkan tentang sebuah
warna cemerlang dalam kehidupan dunia… Endapkan rasa itu! Dengan lantang
teguh, Ismail menjawab, “Wahai ayahanda, kerjakanlah saja perintah dari
Allah itu!”. Cermin dari ajaran dan pendidikan orangtua yang selalu
melangkah dengan prinsip “Jika sudah perintah Nya, tidak mungkin Allah
sia-siakan!”
Oh… Inikah cinta? Inikah sayang? Inikah rindu?
Tiga empat bulan yang lalu, aku sempat
berkomunikasi dengan keluarga di Solo. Belum beberapa menit, telpon
dengan fasilitas Skype harus terhenti. Sebab, putriku menangis sambil
berteriak, “Abah nggak boleh kurus… Abah nggak boleh kuruus… Abah nggak
boleh kuruuus!!!”.
Tak terasa, air mataku meleleh jernih.
Beberapa tetes jatuh bertitik-titik. Dingin dan tawar rasanya air mataku
siang itu. Mungkin di benak putriku, Abahnya yang semakin berkurang
berat badannya sedang menderita, sedang susah. Barangkali gemuk, bagi
putriku adalah tanda Abahnya selalu senang.
Sebulan yang lalu, air mataku kembali
bereaksi. Betapa tidak? Dengan lancar dan penuh ceria, putriku
memperagakan cara duduk yang benar ketika belajar di kelas… Putriku pun
memperagakan tata cara berwudhu untuk shalat. Padahal saat itu, belum
genap sebulan ia duduk belajar di TK. Ia memperagakannya dengan penuh
ceria dan tertawa. Padahal Abahnya, di titik ribuan kilometer darinya,
mendengarkan suaranya dari balik Skype dengan hati terkoyak-koyak. Sedih
namun sedih yang indah. Bahagia.
Semoga Allah memberkahimu, Nak… Semoga
Allah selalu menjagamu dan menjadikanmu seorang wanita yang shalihah.
Semoga Engkau bisa menyontoh kedua kakak perempuanmu yang selalu
membahagiakan orangtuanya, Nak…
Thalabul Ilmi yang sedang Abah jalani
hari-hari ini, di baliknya adapula sebersit harapan yang tersisip.
Mudah-mudahan Thalabul Ilmi ini menjadi ikhlas karena Nya, sehingga
dapat terwujud sebagai sebab engkau menjadi putri yang shalihah.
Dahulu kala, seorang ulama Salaf
memperbanyak dan mempersering shalat sunnahnya. Sang putra yang masih
kecil lantas menanyakan hal itu. Sambil membelai rambutnya, sang ayah
menjawab, “Ayah lakukan semua ini untuk kebaikanmu, Nak”.
Subhaanallah!
Apapun akan Abah lakukan sebagai usaha
agar engkau baik… Agar engkau bahagia di dunia maupun akhirat. Abah
tidak gila harta juga tidak gila pangkat. Apalah arti harta dan pangkat
jika anak-anaknya terbengkalai. Abah tidak ingin membahagiakan orang
lain, sementara engkau sebagai putriku justru tidak merasa bahagia.
Engkau lebih membutuhkan perhatian dari Abah, lebih memerlukan kasih
sayang dan cinta daripada orang lain.
Namun, ijinkanlah dan maafkanlah Abah
yang harus pergi jauh darimu. Insya Allah, perpisahan ini hanyalah
sementara waktu saja. Kenang-kenanglah selalu bahwa ayahmu pergi jauh
untuk Thalabul Ilmi.
“Kiriman sikat gigi dan pasta giginya
untuk Abah udah dititipin ke menantunya Pak Ghifari. Insya Allah sehari
lagi berangkat dari Jakarta”, kata istriku dari Solo. Tiba-tiba dari
arah belakang, suara putriku dengan nada Jawa Solo seperti tak ingin
kalah bersaing, “Abah harus Jazakallaahu khairan noo…”.Istriku lalu
menjelaskan, “Iya Bah, Dik Izzah juga kirim Mini Jelly buat Abah…”
Di sini… Entah perasaan apa yang sedang
bergejolak di dalam hati… Sambil sesekali melirik lima buah Mini Jelly
kiriman Izzah Zainatus Shofaa… Abah ucapkan sambil berbisik,
“Jazakillahu khairan, Dik Izzah… Kiriman Mini Jellynya sudah Abah
terima”. Aku yakin, ikatan cinta antara seorang ayah dan putrinya pasti
tersambung. Sebab cinta tak berdinding.
Lagi-lagi harus….mengendapkan rasa…
.
_abu nasiim mukhtar “iben” rifai_la firlaz_di sebuah titik koordinat rindu_
18 Syawwal 1434 H_25 August 2013_republic of yemen_