.
Senyum Saja Sudah Cukup Mas…
Entah
berapa tumpuk masalah yang harus ia hadapi hari itu. Ada-ada saja
persoalan yang muncul. Santri nakal lah, melanggar aturan, kondisi dapur
dan logistik yang menyedihkan, kekurangan staf pengajar, pengawas
santri yang sering absen, ruang tamu yang tidak memadai belum lagi
omongan negatif dari tetangga-tetangga.
Lengkap sudah.
Hari sudah menjelang senja. Laki-laki
itu akhirnya memutuskan pulang. Sepeda motor yang ia kendarai hanya
pelan mengalir. Mungkin 15 km/jam saja tidak sampai. Berbeda dengan
kebiasaannya yang selalu memacu gas.
Sejak roda motor berpisah dari garis
gerbang pesantren tempat ia berkhidmat, pandangannya kosong tak
terfokus. Arah matanya ke depan akan tetapi pikirannya masih saja ke
belakang, ke arah pesantrennya. Untung saja, di sepanjang perjalanan
tidak ada pohon yang ia tabrak.
Laki-laki itu tak kuasa menyembunyikan
segudang masalah yang menumpuk di pikirannya. Tiada senyum menghias
bibir. Pancaran berseri dari wajahnya menghilang bersamaan dengan
datangnya gelap di ufuk timur, menggantikan warna teja sang surya di
ujung barat.
Sayang, wajah penuh kerut dan kikir senyum itu justru tidak bisa hilang saat ia tiba di rumahnya.
“Ah, ada apa dengan suamiku? Jangan-jangan marah sama diriku? Nggak seperti biasanya. Diem saja. Nggak ada senyum”, istrinya membatin di dalam hati.
Anak-anaknya juga terlihat gelisah.
Menyaksikan wajah sang ayah, masing-masing khawatir dan cemas-cemas
kecut. ”Jangan-jangan Abah sedang marah sama kita”, masing-masing saling
berbisik.
Suasana rumah itu berubah menjadi sunyi
penuh ketegangan. Tak ada yang berani bersuara. Bahkan, anaknya yang
paling kecil pun sirna keceriaannya. Laksana kuburan yang baru saja
ditinggalkan sekelompok pentakziyah.
Antara Maghrib dan Isya’.
Suasana rumah masih penuh ketegangan.
Tetap saja tidak ada perbincangan di antara anggota keluarga. Padahal,
hari-harinya rumah itu selalu riang gembira. Sampai-sampai beberapa
tetangga terheran-heran, kenapa bisa rumah itu selalu terdengar canda
tawa darinya. Namun, malam itu suasana rumah seperti sudah menjelang
dini hari. Padahal adzan Isya’ saja belum dikumandangkan.
Adzan Isya’ membahana. Saling bertautan
dari satu corong toa beralih ke corong toa lainnya. Seolah-olah tiap
kampung berlomba-lomba untuk memanggil kaum muslimin menghadap Sang
Pencipta.
Laki-laki itu berjalan gontai menuju
masjid kampungnya. Masih saja segudang masalah di pikirannya terparkir.
Bertahan kuat, sekuat seorang tentara bergelantungan di tali penghubung
antara dua tebing curam.
Sesampainya di rumah selepas shalat Isya’.
“Mas, aku minta maaf. Salahku kepadamu memang sangat banyak. Tapi, aku dan anak-anakmu tak bisa melihat wajahmu yang sedemikian ruwet. Kalau ada salah kami, beritahukanlah kami. Apapun yang engkau inginkan, pasti akan kami lakukan. Asalkan engkau kembali riang”, istrinya tidak mampu lagi menahan jeritan hati.
Laki-laki itu menghela napas sambil
berbisik di dalam hatinya sendiri, ”Astaghfirullah. Ya Allah, apakah
hanya karena segudang masalah lalu aku harus mengabaikan dan
menelantarkan keluargaku?”
“Tidak! Abah tidak marah kepada kalian. Tidak ada salah sedikit pun yang kalian lakukan. Abah hanya terbawa oleh segudang masalah di pesantren. Abah yang semestinya minta maaf kepada kalian. Sungguh, Abah tidak ingin menyakiti hati kalian”, laki-laki itu mencoba menghibur.
.“Sudahlah. Ayo, malam ini pengen makan apa? Sate Cak Munali di ujung pertigaan Tipes? Bakso Bambang di sebelah Makro? Soto Lamongan di Baron? Atau beli nasi kucing di warung Pak Sugeng?”, laki-laki itu berusaha mencairkan suasana kebekuan rumah.
Bagai sinar matahari yang menggeser awan
mendung, rumah itu langsung berubah riang. Laki-laki itu mulai melucu
dan membuat dagelan. Istrinya tertawa terpingkal-pingkal. Anak-anaknya
pun memegang perut menahan lucu.
Rumah itu kembali hidup dari ambang kematiannya.
Masih terngiang di telinga laki-laki
itu ucapan istrinya, ”Senyum dan canda tawamu sudah cukup, Mas. Aku
tidak berharap harta. Aku tidak berharap perhiasan. Aku sudah cukup
berbahagia jika melihat canda tawa dan senyummu setiap waktu”
Ya, wanita memang makhluk yang sensitif.
Perasa dan lemah lembut. Sebuah kata kasar saja bisa melukai
perasaannya. Bahkan kata kasar itu tidak akan mungkin ia lupakan.
Apalagi lebih dari sebuah kata yang kasar. Betapa hancur perasaan
seorang wanita. Wahai suami, banyak-banyaklah merenungi kesalahan kita
kepada istri tercinta.
.
Senyum Saja Sudah Cukup Mas :
(ditulis oleh Ustadzuna Mukhtar, bersumber dari pengakuan seorang pengajar di sebuah pesantren Salaf)